Jakarta (ANTARA News) - Indonesia harus mampu menyusun agenda reformasi agraria secara komprehensif yang semakin memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena ribuan perkara pertanahan di tanah air amat potensial berubah menjadi masalah politik. Demikian benang merah pernyataan Menteri Dalam Negeri M Ma`ruf, Menteri kehutanan MS Kaban, dan Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, dalam rapat kerja (raker) dengan Panitia Ad Hoc (PAH) I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di Jakarta, Selasa petang, dalam rangka proses revisi Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) Nomor 5 Tahun 1960. Hal senada juga dinyatakan Wakil Ketua DPD, Laode Ida, Wakil Ketua PAH I, Marhany V Pua, dan sejumlah anggota DPD yang menyorot kritis tentang pengalihan lahan di banyak daerah di luar Jawa atas nama negara dengan mengorbankan penduduk lokal. Laode Ida dan Marhany V Pua mengatakan merupakan sesuatu yang amat berbahaya jika orang lokal terus dipaksa harus mengorbankan tanahnya untuk kepentingan komersial, dan lain-lain. Atau, kaum pendatang diberi lahan sesuai pemerintah yang bertindak atas nama negara, sementara orang-orang lokal yang tak punya lahan tetap dibiarkan miskin. Inilah yang bisa menuju pada konflik horisontal dan bermasalah politik serius di kemudian hari, kata keduanya. Masalah ini juga mendapat perhatian khusus Menhut MS Kaban yang mengatakan seharusnya setiap kali ada pembukaan areal hutan untuk transmigrasi di mana-mana, dipertimbangkan terlebih dulu kepentingan masyarakat lokal, kemudian pendatang. Persoalan akan semakin runyam, sambung Kepala BPN, Joyo Winoto, karena penataan tentang batas-batas tanah ulayat atau tanah milik adat dan suku, serta jaminan atas hak atas areal tersebut belum secara tegas tertata secara baik di republik ini. Karena itulah, para anggota DPD mendesak agar migrasi horisontal, apakah itu karena program transmigrasi oleh pemerintah maupun spontanitas terjadi akibat kondisi mobilitas ekspansi penduduk, mesti mendapat perhatian dalam proses revisi UU PA 1960. "Jika tidak, akan semakin banyak perkara pertanahan yang bisa memicu persoalan-persoalan politik, baik di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, maupun Jawa, yang pada giliran berikutnya sangat berpotensi ke arah proses disintegrasi bangsa serta mengganggu keutuhan NKRI," kata Marhany V Pua. (*)

Copyright © ANTARA 2006