Jakarta (ANTARA News) - Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 2,8 juta hektar per tahun akibat lemahnya pengawasan dan sangat ringannya sanksi terhadap pelaku perusakan hutan. "Kondisi ini menunjukkan aspek pengawasan sangat lemah. Kami mensinyalir amat kentalnya aroma KKN antara penguasa dan pengusaha dalam pengelolaan aneka lahan di bumi Nusantara. Hal ini telah berakibat lahirnya beragam bencana alam dimana-mana, ketiadaan air bersih, dan seterusnya," kata Wakil Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Marhany V Pua, di Jakarta, Selasa. Pernyataan itu disampaikan ketika menanggapi pernyataan Menteri Kehutanan MS Kaban dalam Raker PAH I dengan Menteri Dalam Negeri M Ma`ruf, Menteri Kehutanan MS Kaban, dan Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto, yang diadakan dalam rangka proses revisi Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) Nomor 5 Tahun 1960. Selain lemahnya pengawasan, dia juga mengkritisi amat ringannya sanksi bagi pelanggar pengrusakan hutan, karena hanya diancam picana tiga bulan. Dalam raker yang dihadiri Wakil Ketua DPD RI, Laode Ida itu, terangkat juga sejumlah persoalan tanah ulayat atau tanah adat di kawasan Freeport (bumi Papua), lahan penahan air di Warembungan (Minahasa, Sulawesi Utara), hutan lindung proyek geotermal di Bali, hutan mangrove Baloi (Batam, Kepulauan Riau), dan berbagai jenis hutan lainnya di Kalimantan maupun Sumatera menjadi sorotan khusus raker tersebut. Laode Ida mengingatkan pemerintah agar memiliki iktikad serius menyelesaikan aturan-aturan yang jelas di bidang pertanahan, termasuk revisi UU PA Nomor 5 Tahun 1960. Mendagri M MA`ruf sendiri dalam pemaparannya mengakui, pengaduan masyarakat terkait dengan masalah pertanahan terus meningkat dari tahun ke tahun. "Sampai akhir Oktober tahun ini saja, jumlah pengaduan pada Depdagri baik yang ditujukan langsung maupun tembusan, tercatat sebanyak 924 surat," kata M Ma`ruf. Sementara itu, Ketua BPN Joyo Winoto, mengungkapkan pengalaman di awal dirinya memangku jabatan itu, ia langsung dihadapkan dengan 2.845 perkara pertanahan di seluruh Indonesia. "Saya mesti langsung menghadapi pula 355 perkara di berbagai pengadilan di seluruh Indonesia hingga sekarang," ungkapnya. Karena itu Joyo Winoto dan Laode Ida sepakat, agar dilakukan kajian terhadap banyak aspek pertanahan dalam rangka menyempurnakan UU PA Nomor 5 tahun 1960 bagi kemaslahatan rakyat, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta kepentingan kedaulatan bangsa.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006