Jakarta (ANTARA News) - Sidang permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh terpidana kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, Eurico Guterres, mendengarkan keterangan dua saksi baru. Salah satu saksi yang dihadirkan oleh tim kuasa hukum Guterres di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin, adalah Eduardo de Yesus, yang sebelumnya dinyatakan meninggal dunia dalam peristiwa penyerangan di rumah Manuel Carascalao pada 17 April 1999. Eduardo yang hadir di persidangan mengenakan kaos berkerah berwarna krem itu mengatakan, dirinya bersama dengan dua rekannya, Boa Ventura dan Dominggus Palestela, berada di rumah Manuel karena diculik oleh pihak pro kemerdekaan. Eduardo yang berasal dari kelompok Besi Merah Putih (BMP) yang pro integrasi itu mengatakan bentrokan di rumah Manuel Carascalao tidak direncanakan sebelumnya dan terjadi karena ia berteriak minta tolong kepada sebuah truk yang lewat di depan rumah Manuel, yang mengangkut kelompok BMP dalam perjalanan pulang mereka usai mengikuti apel akbar di rumah gubernur. "Saya berteriak minta tolong dan truk itu berhenti. Lalu ada sekitar 40 orang turun sehingga bentrokan terjadi," ujarnya. Eduardo mengaku dirinya diculik dan disekap oleh kelompok CNRT yang pro kemerdekaan. Sebelumnya, Eduardo dinyatakan sebagai salah satu korban meninggal dari 12 korban tewas akibat penyerangan di rumah Manuel Carascalao. Eduardo mengaku menyelamatkan diri menggunakan truk yang mengangkut orang-orang dari kelompok BMP. Namun, majelis hakim sempat meragukan bahwa saksi yang diajukan Guterres adalah benar-benar Eduardo de Yesus yang dikabarkan telah meninggal itu. "Apakah saksi tahu bahwa pemilik nama Eduardo de Yesus itu hanya saksi sendiri? Karena, ada banyak nama Eduardo de Yesus di Timor Timur," kata hakim Andriani Nurdin. Eduardo memastikan bahwa ia hanya satu-satunya orang yang bernama Eduardo de Yesus di desanya, Maubara. Namun, ia tidak tahu apabila di desa lain di Timor Timur ada orang lain yang memiliki nama Eduardo de Yesus. Ketika penuntut umum menyebutkan sebelas nama korban yang tewas di rumah Manuel, Eduardo mengatakan ia tidak mengenal nama-nama para korban itu. Eduardo sebelumnya sudah bersaksi pada persidangan pelanggaran HAM berat di Timor Timur, dengan terdakwa letkol inf Endar Priyanto sebagai saksi meringankan (a de charge). Menurut penasehat hukum Guterres, Suhardi Sumomoeljono, keterangan Eduardo itu digunakan sebagai pertimbangan oleh majelis hakim yang menangani perkara Endar Priyanto sehingga akhirnya Endar dibebaskan dari dakwaan penuntut umum. Saksi baru lain yang diajukan oleh Guterres adalah Boa Ventura yang turut disekap di rumah Manuel bersama Eduardo. Baik Eduardo maupun Boa mengatakan Alfredo Sanches dan Florendo De Yesus, dua saksi yang memberatkan Guterres, sebenarnya tidak berada di tempat kejadian. Selama disekap di rumah Manuel sejak 12 April sampai 17 April 1999, Eduardo maupun Boa mengatakan tidak pernah melihat Alfredo Sanches dan Florendo De Yesus. Eduardo mengaku mengenal baik Alfredo dan Florendo karena mereka berasal dari desa yang sama dan bersekolah di SD yang sama. Selain dua saksi fakta baru, kuasa hukum Guterres juga mengajukan dua saksi ahli, yaitu dosen hukum pidana Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Chaerul Huda, dan pakar hukum Indriyanto Senoadji. Chaerul Huda dalam keterangannya mengatakan pasal 42 UU No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM menyatakan atasan sipil yang bisa diminta pertanggungjawabannya dalam kasus pelanggaran HAM hanya terbatas pada pejabat pemerintahan seperi Gubernur dan Bupati. Atasan sipil yang benar-benar berasal dari sipil seperti pemimpin organisasi masyarakat, sesuai hukum pengadilan kriminal internasional, menurut Chaerul, hanya dapat dikenakan pada perkara kejahatan perang. Namun, UU Pengadilan HAM Indonesia, lanjut dia, belum mengadopsi aturan kejahatan kriminal perang. Sedangkan Indriyanto Senoadji mengatakan seorang atasan belum tentu dapat dimintai pertanggungjawabannya atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya. Hal seperti itu, menurut dia, harus dilihat kasus per kasus. Penuntut umum M Jusuf, menyatakan keberatan atas diajukannya Indriyanto sebagai saksi ahli karena Indriyanto termasuk salah satu kuasa hukum mantan Gubernur Timor Timur, Abilio Soares, yang juga mejadi terdakwa kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Namun, majelis hakim yang diketuai Andriani Nurdin menyatakan keterangan Indriyanto tetap akan didengarkan dan dicatat dalam berita acara persidangan, demikian juga dengan keberatan dari penuntut umum. "Karena ini sidang PK, maka majelis hakim hanya memeriksa prosedur. Semuanya akan dicatat dalam berita acara dan biarkan Mahkamah Agung yang menilai," kata Andriani. Selain mengajukan dua saksi baru, Guterres juga mengajukan putusan PK yang membebaskan Abilio Soares sebagai novum, karena adanya pasal 55 KUHP tentang penyertaan antar Guterres dan Abilio Soares. Selain mengajukan novum, kuasa hukum Guterres juga menyatakan vonis kasasi MA mengandung kekhilafan dan kekeliruan yang nyata, sebagai alasan mereka untuk mengajukan PK. Mereka menilai MA sebagai Judex Juris telah mengadili sendiri perkara kasasi Guterres, namun tanpa melihat fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. "Majelis agung telah menempatkan diri sebagai `judex facti`, padahal secara aktual dan faktual majelis hakim agung tersebut belum pernah menempatkan dirinya selaku hakim fakta yang secara langsung berhadapan dengan Guterres," kata Suhardi. Pada 13 Maret 2006, dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung (MA) memvonis Guterres hukuman sepuluh tahun penjara, seperti vonis pada pengadilan tingkat pertama yang dijatuhkan pada 27 November 2002. MA menyatakan mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) Timor Timur itu terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Majelis hakim menunda sidang pemeriksaan sidang PK Guterres hingga 13 November 2006 dengan agenda pengajua bukti tertulis dari kuasa hukum Guterres. Usai sidang, Guterres mengatakan dirinya diperlakukan tidak adil karena dari belasan terdakwa kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur, hanya dirinya yang dijatuhi hukuman.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006