Jakarta (ANTARA News) - Departemen Luar Negeri Republik Indonesia (Deplu-RI) menyatakan bahwa hingga saat ini tidak ada tim investigasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang datang ke Indonesia untuk menyelidiki kasus kematian aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir. "Tidak ada tim investigasi dari PBB untuk kasus Munir. Tidak ada juga special rapporteur (pelapor khusus --red) yang datang," kata Jurubicara Deplu-RI, Desra Percaya, kepada wartawan di Ruang Palapa, Gedung Deplu Jakarta, Jumat. Jubir Deplu-RI mengatakan pihaknya mendengar informasi yang menyatakan bahwa Suciwati -- istri Munir -- bertemu dengan pelapor khusus PBB yang memiliki spesialisasi kasus pembunuhan di luar hukum (extra judicial execution--red) Profesor Philips Alston di New York beberapa waktu lalu. Namun, ia melanjutkan kedatangan seorang pelapor khusus PBB ke suatu negara hanya akan terjadi atas undangan pemerintah negara yang bersangkutan, karena yang menjadi anggota PBB adalah negara, dan utusan PBB tersebut tidak serta merta datang. "Kedatangan pelapor khusus biasanya untuk membantu pemerintah yang bersangkutan dalam penegakan HAM. Pelapor khusus akan melakukan pengamatan dan kemudian menyerahkan laporan dan rekomendasi ke negara yang bersangkutan," ujarnya. Menurut Jubir Deplu-RI, berdasarkan data yang ada Philips Alston pernah meminta diundang ke Indonesia pada 2004 untuk kasus Aceh. Dikatakannya kedatangan seorang pelapor khusus PBB ke suata negara adalah hal yang biasa. "Dalam waktu dekat ada tiga orang pelapor khusus PBB yang kita undang ke Indonesia, sedangkan sebelumnya telah datang sejumlah pelapor khusus PBB untuk kasus penyiksaan dan kekerasan dalam rumah tangga," katanya. Tiga pelapor khusus PBB yang dijadwalkan datang ke Indonesia adalah pelapor khusus mengenai pekerja migran pada 12 hingga 20 Desember 2006 serta pelapor khusus PBB mengenai penyiksaan dan pertahanan pada 2007. Tak ada kondisi luar biasa Pada kesempatan sebelumnya, Desra menjelaskan tak ada kondisi tertentu atau luar biasa yang membuat Indonesia melibatkan pelapor khusus PBB. Apalagi, kata Desra, hingga kini Pemerintah Indonesia masih melakukan penyidikan atas kasus Munir atau penyelidikan atas kasus tersebut belum selesai. Jubir Deplu-RI tersebut menjelaskan sekalipun pelapor khusus itu menerima laporan dari individu dari seluruh dunia mengenai kasus hukum, namun hanya dapat datang terlibat dalam penyelidikan setelah negara melayangkan undangan. Pada pertemuan dengan Philips Alston, Suciwati didampingi Koordinator Kontras Usman Hamid dan seorang rekan dari Human Right First. Di AS, Suciwati dan Usman juga bertemu dengan sejumlah anggota Kongres AS dari kalangan Demokrat maupun Republik di Washington DC. Munir meninggal di dalam pesawat Garuda Nomor Penerbangan GA-974, 6 September 2006, dalan penerbangan menuju Amsterdam, Belanda. Hasil otopsi ahli forensik Belanda pada 13 Oktober 2004 menyatakan Munir meninggal karena di dalam lambungnya terdapat racun arsenik. Belakangan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) di Jakarta menetapkan Pilot Garuda yang ikut terbang sebagai penumpang di pesawat, Pollycarpus, sebagai tersangka karena diduga memasukkan arsenik ke dalam jus jeruk yang diminum Munir sebelum ia keracunan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta memvonis Pollycarpus 14 tahun penjara, tapi belakangan ia dijatuhi hukuman 2 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. (*)

Copyright © ANTARA 2006