Jakarta (ANTARA News) - Kalangan legislatif mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegur keras Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, karena dianggap belum dapat memimpin dan mengendalikan pelaksanaan tugas serta wewenang kejaksaan, khususnya terkait dengan penanganan kasus dugaan korupsi anggota DPRD maupun Kepala Daerah. "Aparat kejaksaan di daerah-daerah masih saja menghubungkan atau mendasarkan penanganan kasus dugaan korupsi pada PP Nomor 110 Tahun 2000. Padahal, PP tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui keputusan No 04/G/HUM/2001 tanggal 9 September 2002. Sebab, PP itu dinilai bertentangan dengan UU No 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD serta UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah," tegas salah satu anggota dewan, Trimedya Panjaitan (Fraksi PDI Perjuangan), di Press Room DPR / MPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa. Pernyataan Trimedya Panjaitan itu merupakan bagian inti dari sejumlah rekomendasi yang disampaikan Panitia Kerja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah (Panja Pemda), terdiri dari gabungan Komisi II DPR RI (bidang pemerintahan dalam negeri) dan Komisi III (bidang hukum). Selaku Ketua Panja Pemda, Trimedya Panjaitan juga mengungkapkan, berdasarkan data Menteri Dalam Negeri, selama Periode 2004, 2005, hingga 2006, telah dikeluarkan izin pemeriksaan terhadap 1.062 anggota DPRD. "Sedangkan pihak Kejaksaan Agung telah memproses hukum 265 perkara tindak Pidana korupsi dari jumlah tersangka, terdakwa maupun terpidana sebanyak 967 orang," jelas Trimedya Panjaitan yang juga Ketua Komisi III DPR RI itu. Dikatakan, hampir 80 persen kasus yang ditangani kejaksaan melibatkan DPRD, dengan nilai korupsi relatif kecil. "Malah ada yang hanya berkisar Rp1,5 juta. Dan yang jelas, ada jaksa-jaksa nakal menjadikan hal ini lahan empuknya," kata Trimedya Panjaitan lagi. Di tempat yang sama, Wakil Ketua Panja, Priyo Budi Santoso (Fraksi Partai Golkar) menyatakan, Presiden mestinya harus peka dengan realitas di lapangan akibat kontroversi masalah PP No 110 tersebut. "PP No 110 telah mengakibatkan terjadinya kriminalisasi hukum. Karenanya, Presiden seharusnya meminta Jakgung untuk secara konsisten tidak menggunakan lagi PP ini. Apalagi Jaksa Agung selama ini tidak tegas terhadap tingkah laku para jaksa di lapangan," tandas Priyo Budi Santoso. Sementara itu, kepada Menteri Dalam Negeri, demikian Priyo Budi Santoso, harus segera memproses penyusunan peraturan yang mengatur mekanisme pemeriksaan anggota DPR dan kepala daerah terkait dugaan tindakan pidana. "Saya menyayangkan tindakan yang dilakukan kalangan LSM tertentu yang mencermati masalah ini, dan menuduh DPR telah melakukan intervensi hukum. LSM hanya tahu kulitnya saja. Kami di DPR tidak mungkin berani mempertaruhkan nama baik parlemen untuk sesuatu yang tidak benar," tegas Priyo Budi Santoso yang juga Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu. Dikatakan, jika eksekutif tidak segera mengambil tindakan, akan menimbulkan masalah di daerah. "Saat ini sudah muncul rasa dan sikap apatis di kalangan DPRD dan Kepala Daerah yang enggan untuk melakukan pembahasan RAPBD dan membuat produk-produk DPRD, karena takut dijerat hukum, akibatnya pembangunan bisa terganggu," ungkap Prijo Budi Santoso. Ketua Umum DPP MKGR ini juga menyorot khusus terjadinya diskriminasi terhadap fraksi-fraksi tertentu di DPRD yang berakibat munculnya kegelisahan terhadap kepemimpinan nasional. Karena itu, Priyo Budi Santoso menegaskan, DPR akan senantiasa melakukan pengawasan dan menggunakan hak konstitusinya. "Saya meminta penegakan hukum dilakukan secara adil dan jangan sampai terjadi kriminalisasi politik," katanya lagi. Selain menegur keras Jaksa Agung, Panja juga menyampaikan rekomendasi kepada Presiden Yudhoyono untuk memerintahkan Kepolisian RI, agar konsisten tidak menggunakan PP dimaksud. Di samping itu, Panja merekomendasikan agar Presiden dapat menghentikan penanganan kasus dugaan korupsi dana APBD oleh anggota DPRD dan Kepala Daerah. Menanggapi tuduhan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tentang telah terjadinya intervensi hukum oleh DPR, Trimedya Panjaitan menegaskan, ia bersama semua anggota Panja tidak berniat melakukan itu. "Tidak ada niat untuk melakukan intervensi hukum. Kami hanya ingin PP ini tidak digunakan lagi untuk menjerat anggota DPRD," ungkapnya. Dukungan atas tidak digunakannya lagi PP tersebut, datang dari berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia, sebagaimana pada pagi harinya ada sekelompok pelaku aksi unjuk rasa datang ramai-ramai memperjuangkan itu di kompleks parlemen. Hal itu juga dinyatakan terbuka oleh Ketua Asosiasi DPRD Kabupaten (Adkasi) HM Haris, dengan mengatakan, rekomendasi Panja harus diperhatikan oleh aparat kejaksaan. "Hal ini penting, agar tidak terjadi penetapan tersangka bagi anggota DPR yang menyusun APBD atau melaksanakan Perda," katanya.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006