Jakarta (ANTARA News) - Sebuah lembaga donor di Belanda yang pernah mendanai studi Munir di negeri kincir angin itu memberikan dukungan serius untuk adanya proses hukum ulang atas kasus kematian tokoh hak azasi manusia (HAM) tersebut. "Kami cari peluang hukum baru di sana (Belanda). Ada lawyer (pengacara) Belanda juga siap mendukung. Mudah-mudahan akhir tahun ini proses hukumnya mulai bisa berlangsung di sana," kata Usman Hamid dari Kontras, usai diskusi tentang Munir di Press Room DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat. Upaya ini, menurut Hamid yang didampingi Suciwati (isteri almarhum Munir), bakal semakin dipercepat, setelah munculnya putusan kasasi oleh Mahkamah Agung tentang tidak terbuktinya Pollycarpus sebagai pembunuh Munir, sehingga hanya mendapat hukuman dua tahun kurungan penjara dari sebelumnya 14 tahun. Terhadap putusan kasasi ini, Hamid maupun Suciwati merasa banyak keanehannya, seperti tentang pengubahan materi pasal menggunakan surat palsu berubah menjadi memalsukan surat. "Otomatis pihak Direktur Utama Garuda lolos. Dan karena hal-hal seperti ini, banyak yang tak tercakup untuk pengambilan keputusan demi keadilan, apalagi proses pemeriksaan kasasi itu berlangsung tertutup," ungkap Hamid Mengenai kesan tertutup yang diberlakukan pihak Mahkamah Agung itu, Usman Hamid menyatakan, pihaknya, juga Suciwati telah pernah meminta, agar jangan begitu. Juga, mereka telah menyarankan kepada pihak Mahkamah Agung, agar ikut mendatangkan saksi-saksi lain, termasuk Suciwati. "Kita contohlah proses pemeriksaan kasus kasasi Akbar Tandjung. Kan berlaku terbuka, begitu juga beberapa kasus lainnya. Kok yang ini tertutup," sergah Usman Hamid dalam nada berapi-api usai diskusi yang menampilkan dirinya sebagai pembicara utama bersama Suciwati, Effendy Choirie (Anggota Komisi I DPR RI) serta Yasonna Laoly (Anggota Komisi III DPR RI). Selain soal tertutupnya proses pemeriksaan kasasi, Usman Hamid juga mencela kelambanan publikasi ke publik. "Sudah Suciwati tidak dilibatkan dalam proses pemeriksaan kasasi, kita tahunya juga terlambat (tentang keputusan kasasi ini). Harusnya kan dirilis cepat," kata Usmadn Hamid. Mengenai double yuridiksi, Usman Hamid mengakui, memang proses pemeriksaan forensik dilakukan di Belanda. "Itu wajar-wajar saja, karena kejadian kematian Munir itu terjadi di yuridiksi mereka. Bisa saja Belanda melakukan tindakan lanjutan. Tetapi, mereka menyerahkan proses criminal investigation kepada otoritas negara asal Munir, yakni Indonesia," ungkap Usman Hamid. Dalam proses investigasi inilah, menurut Usman Hamid, Belanda seharusnya dilibatkan. "Sumber-sumber kami di sana menyebutkan, mereka sebetulnya siap untuk itu. Tetapi karena sudah terlanjur begini, kita berupaya mencari peluang hukum baru. Dan pihak Belanda mendukungnya. Ada lawyer di sana yang bersedia ikut. Begitu pula sebuah lembaga donor yang pernah mendanai almarhum Munir akan memberikan dukungan," jelas Usman Hamid.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006