Surabaya (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengimbau, pemerintah harus mewaspadai tingginya potensi konflik horisontal di antara warga yang menjadi korban keputusan membuang luapan lumpur dari proyek PT Lapindo Brantas Inc. ke Kali Porong dan ke laut. Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur (Jatim), Ridho Saiful Ashadi, kepada ANTARA News di Surabaya, Jumat, menjelaskan bahwa hingga saat ini banyak warga, terutama yang tinggal di kawasan pesisir pantai dan petambak, yang menolak pembuangan lumpur ke Kali Porong dan ke laut. "Selama ini berkembang opini bahwa pihak yang menolak membuang lumpur ke Kali Porong dan laut hanya sekedar memikirkan keselamatan ikan-ikan, tanpa memikirkan keselamatan manusia. Opini seperti itu hanya untuk menyempitkan masalah yang jauh lebih besar," katanya. Ia menimpali, "Berbicara masalah lingkungan, tidak hanya sekedar menyangkut ikan dan manusia, tapi banyak aspek yang terkait didalamnya." Saiful mengemukakan, Kali Porong merupakan sumber pengairan lebih dari 4.000 hektar tambak di Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Apabila lumpur dibuang ke Kali Porong, menurut dia, maka selanjutnya akan masuk dan merusak tambak, serta meracuni udang dan ikan dalam tambak. "Jika udang dan ikan itu dikonsumsi manusia, maka berpotensi menimbulkan dampak keracunan. Dalam waktu yang lama, racun-racun ini akan terakumulasi dalam tubuh manusia," jelasnya. Padahal, ia menilai, perikanan tambak merupakan sektor unggulan di Kabupaten Sidoarjo dan merupakan tambak organik terbesar di Indonesia. Sekira 30 persen ekspor udang Indonesia berasal dari tambak Sidoarjo dengan nilai produksi sekira Rp800 miliar per tahun. Dampak serupa juga akan dialami ribuan nelayan di pesisir Sidoarjo, Pulau Madura, Surabaya, Pasuruan, dan Probolinggo, yang terancam kehilangan sumber penghidupan, apabila jutaan meter kubik lumpur Lapindo dibuang ke laut, ujarnya. "Membuang lumpur, baik ke sungai maupun laut akan mengancam kesehatan manusia, mata pencaharian petambak dan nelayan, serta kelangsungan ekosistem sungai dan laut," katanya. Ia pun menegaskan, "Karena itu, wajar kalau nelayan dan petambak menolak pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong maupun laut. Mereka termasuk warga yang akan terkena korban lumpur berikutnya dan perlu juga diperhatikan nasibnya." Saiful mennilai, sejak terjadinya semburan gas bercampur lumpur panas di pengeboran PT Lapindo Brantas Inc. pada 29 Mei 2006, sering terjadi konflik antar-warga yang menjadi korban. "Dengan dibuangnya lumpur ke Kali Porong dan laut, potensi munculnya konflik horizontal juga tinggi. Tidak hanya melibatkan korban lumpur, tapi konflik bisa meluas di wilayah pesisir laut Selat Madura," tambah Saiful. Oleh karena itu pula, Walhi Jatim meminta, pihak-pihak yang mengeluarkan izin pembuangan lumpur ke Kali Porong dan laut harus bertanggung jawab, baik secara hukum maupun politik, seandainya terjadi konflik horizontal semakin besar dan meluas. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006