Batam (ANTARA News) - Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank/WB) merupakan lembaga yang ikut andil dalam kerusakan hutan dan lingkungan di Indonesia serta negara berkembang lainnya. "Peran IMF dan WB, dapat dilihat dari pengucuran dana ke perusahaan-perusahaan yang berinvestasi tanpa lebih dulu mengkaji dampak yang akan timbul dari kebijakan yang mereka keluarkan," kata aktivis Greenpeace, Red Costantino, di pertemuan "International Peoples Forum Vs IMF and WB", di Asrama Haji Batam, Minggu. Dikatakannya akibat kerusakan hutan secara besar-besaran, terjadi perubahan iklim di dunia, karena banyak hutan penyeimbang ekosistem dijarah dan dimanfaatkan tanpa kajian dan pengawasan. "Perusahan-perusahaan perusak hutan itu didanai WB. Greenpeace meminta pembabatan hutan dihentikan," kata Constantino. Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan (Walhi) Kalimantan Selatan, Berry Nahdan Forqan, mengemukakan di Provinsi Kalimantan Selatan telah terjadi kerusakan hutan dan ancaman lebih besar akan terjadi bila WB maupun lembaga-lemnaga keuangan lain tidak menghentikan pinjaman kepada perusahaan-perusahaan terkait. Perusahaan itu adalah PT Marga Buana Bumi Mulia (MBBM), industri pembuatan bubur kertas), PT Mangium Anugerah Lestari (MAL, industri kayu serpih) dan perusahaan HTI, PT Hutan Rindang Benua (HRB, pemasok bubur kertas). Semuanya merupakan anak perusahaan United Fibre System (UFS`s), sebuah konsorsium asing dari delapan negara yang berpusat di Singapura. Di tahun 2002 PT BMBM dan PT MAL bekerjasama dengan PT Hutan Rindang Banua (HRB) pemasok bubur kayu bahan baku kertas. PT HRB memiliki konsesi lahan seluas 268.585 hektar di tahun 2002. Meski perusahaan ini telah mengklaim menanam kembali hutan ditebang seluas 75.758 hektar, tapi kenyataannya hanya 41.212 hektar. Data ini sesuai dengan laporan Bakorsurtanal, padahal seharusnya penanaman kembali itu seluas 206.667 hektar agar ekosistem dan 3 juta warga di sekitar hutan seperti nelayan, petani dan lainnya tidak terganggangu kehidupannya. Dikatakannya seharusnya WB tidak lagi mengucurkan pinjaman untuk pengembangan usaha pabrik kertas, karena perusahan tersebut berencana akan memproduksi 600 ribu ton bubur kertas (pulp) per tahun di Sungai Cuka, Kabupaten Tanah Buntu. Menurutnya, bila dana tersebut tetap dikucurkan maka dikhawatirkan akan menjadi ladang korupsi baru, karena selain perusahaan HRB, juga terdapat PT Perhutani memiliki konsesi untuk menyuplai bahan baku. Bila Pemerintah beralasan akan menyerap tenaga kerja, maka kebanyakan tenaga kerja yang dari luar daerah termasuk pekerja dari Singapura. Oleh karena itu selain WB, juga diharapkan lembaga keuangan lain seperti International Finance Corporations (IFCs) dan lembaga finansial swasta seperti Merril Lynch dan ANZ Bank menarik dukungan terhadap rencana proyek penebangan hutan di Kalsel yang mengancam ekosistem Pegunungan Merarus, 3 juta penduduk, termasuk hak-hak adat. Stephanie Gorson Fried, dari Global Financial Transparency menyatakan, kerusakan hutan di Indonesia disebabkab dua pertiga perolehan dari hasil penebangan hutan tidak terdata dengan baik sehingga kerugian Negara mencapai 3 juta dolar Amerika per tahun. (*)

Copyright © ANTARA 2006