Denpasar (ANTARA News) - Panitia Khusus DPR RI meminta masukan dari pemerintah daerah dan berbagai pemangku kepentingan di Bali terkait Rancangan Undang-Undang Keuangan Negara sebagai tindak lanjut revisi UU No 17 tahun 2003.

"Kami melihat pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memang terdapat beberapa masalah yang menjadi kendala dan hambatan," kata Ketua Rombongan Pansus RUU Keuangan Negara DPR RI, Edwin Kawilarang, saat berkunjung ke Kantor Gubernur Bali, di Denpasar, Selasa.

Menurut dia, setidaknya ada 12 permasalahan dalam UU Keuangan Negara sebelumnya yang diinventarisasi di antaranya kesejahteraan rakyat seringkali tidak tergambar dalam pengelolaan keuangan negara yang berwujud APBN dan posturnya tergerus pada biaya rutin pemerintah, tidak jelasnya pengaturan mengenai pengelolaan dana pihak ketiga atau perwalian seperti dana haji.

"Selain itu belum sinerginya antara perencanaan dan penganggaran karena dalam penyusunan APBN lebih mengutamakan egosektoral dan bukan berdasarkan kinerja tahun sebelumnya. Di samping itu, ketidakjelasan pengaturan mengenai sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit anggaran dan berbagai masalah lainnya," ujarnya.

Ia menambahkan, dengan mendapat masukan dari Pemprov Bali dan berbagai pemangku kepentingan terkait dari Pulau Dewata diharapkan mampu menyempurnakan rumusan RUU Keuangan Negara.

Sementara itu Ketua Pansus Achsanul Qosasi mengatakan memang sudah waktunya supaya dalam UU hasil revisi nanti menyesuaikan dengan kepentingan daerah.

Ia juga melihat selama ini dalam UU Keuangan Negara belum mengakomodasi kepentingan pembangunan yang direncanakan dan terkumpul lewat Bappenas. Hal itulah yang menyebabkan sering tidak tercapainya sinergitas antara hasil musrenbang dari bawah dengan alokasi APBN.

Pihaknya juga seringkali mendapat keluhan dari pemerintah daerah karena sempitnya waktu menyiapkan APBD padahal mereka ingin diberi waktu yang cukup untuk melakukan improvisasi anggaran.

Sedangkan Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Bali, Didik Krisdiyanto, berpandangan selama ini anggaran masih terkesan "berbaju kinerja". Tekanannya masih pada "output" atau keluaran dan belum pada manfaat atau hasilnya (outcome).

"Masih banyak kegiatan yang belum bermanfaat demi kesejahteraan rakyat. Demikian juga hubungan pengawas internal dengan eksternal perlu diatur dalam UU," ujarnya.

Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta mendesak supaya dalam revisi Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dapat mengakomodasi kekhususan Pulau Dewata untuk mendapatkan dana perimbangan yang berkeadilan.

Ia mengemukakan, devisa yang dihasilkan Bali per tahun selama ini sekitar Rp41 triliun, sayangnya hanya dikembalikan ke Bali sekitar Rp900 miliar.

"Kami sangat berharap agar Bali dikhususkan atau dana perimbangan dikecualikan supaya lebih berkeadilan, minimal daerah kami bisa mendapatkan sampai Rp10 triliun per tahun," ujar Sudikerta.

Ada juga masukan dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof Dr Wairocana yang mengatakan dalam revisi UU itu harus dihindarkan dari norma yang kabur, norma kosong, konflik norma, kewenangan yang begitu luas tanpa rambu-rambu dan sebagainya.

Masih banyak lagi masukan yang disampaikan oleh kalangan akademisi, perwakilan Polda Bali, Wakajati Bali, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan Bank Pembangunan Daerah Bali, Bappeda Bali dan sebagainya.

Selain Achsanul Qosasi dan A Edwin Kawilarang, anggota Pansus RUU Keuangan Negara lainnya yang datang dalam kunjungan tersebut yakni , Harry Azhari Azis, Sayed Muhammad Muliady, Buchory Yusuf, A Muhajir, dan Mustofa Assegaf.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014