Washington (ANTARA) - Universitas Columbia pada Selasa (30/4) mengancam mengeluarkan mahasiswa yang menduduki gedung administrasi Hamilton Hall, mengatakan para demonstran antiperang "telah memilih untuk melakukan eskalasi ke situasi yang tidak dapat dipertahankan."

"Mahasiswa yang menduduki gedung akan diusir," kata juru bicara universitas Ben Chang dalam pernyataan melalui surat elektronik.

Para pengunjuk rasa menyatakan tidak akan meninggalkan fasilitas tersebut, yang mereka beri nama "Hind's Hall" untuk mengenang warga Palestina Hind Rajab berusia enam tahun yang dibunuh secara brutal di Gaza, kecuali tuntutan mereka dipenuhi.

Mereka menuntut agar Columbia melakukan divestasi dari perusahaan-perusahaan Israel dan mengutuk serangan gencar Tel Aviv terhadap Jalur Gaza.

Presiden Columbia Minouche Shafik menyatakan sekolah tidak akan melakukan divestasi -- tuntutan utama mahasiswa yang memprotes serangan Israel.

“Kami tidak bisa berdiam diri karena biaya kuliah dan tenaga kerja kami mendukung pembunuhan massal. Selama dua pekan terakhir para pelajar telah membahayakan keselamatan, rumah, pendidikan, dan karier mereka, mengetahui tidak ada universitas yang tersisa di Gaza karena bom yang didanai AS,” bunyi pernyataan Kelompok Mahasiswa Columbia untuk Keadilan di Palestina.

“Para pembebas yang bertindak dalam solidaritas dengan Palestina terus mempertahankan standar yang lebih tinggi daripada Columbia,” tambah kelompok aktivis tersebut.

Sementara itu, pengunjuk rasa yang masih berada di lokasi perkemahan hingga Senin sore, batas waktu yang ditetapkan oleh universitas, akan diskors dan “akan dibatasi dari semua ruang akademik dan rekreasi dan hanya dapat mengakses tempat tinggal masing-masing,” kata Chang.

Mahasiswa senior yang dijadwalkan untuk lulus tidak akan diizinkan untuk melakukannya, katanya.

“Kemarin kami telah menegaskan dengan sangat jelas bahwa pekerjaan Universitas tidak dapat terus-menerus diganggu oleh pengunjuk rasa yang melanggar peraturan. Jika terus melakukan hal ini, akan ada konsekuensi nyata,” kata Chang.

“Ini tentang menanggapi tindakan para pengunjuk rasa, bukan tujuan mereka. Seperti yang kami katakan kemarin, gangguan di kampus telah menciptakan lingkungan yang mengancam bagi banyak mahasiswa dan staf pengajar Yahudi kami dan gangguan bising yang mengganggu pengajaran, pembelajaran, dan persiapan. untuk ujian akhir,” tambahnya.

Keputusan Shafik memanggil polisi untuk membubarkan paksa perkemahan awal dan menangkap pendemo yang melakukan aksi duduk pada 18 April menjadi pemicu gerakan protes yang lebih luas.

Hal tersebut semakin menguatkan para demonstran, dan perkemahan pun menyebar ke universitas-universitas di seluruh negeri meskipun ada penangkapan dan ancaman dari administrator universitas.

Sejak saat itu ratusan mahasiswa ditahan di kampus-kampus dengan protes menuntut universitas melakukan divestasi dari Israel dan mengutuk kebrutalannya di Jalur Gaza yang telah menewaskan lebih dari 34.000 warga Palestina, dimana sebagian besar perempuan dan anak-anak.

Tidak hanya itu, Israel juga menargetkan gedung-gedung pendidikan tinggi di Gaza, di mana 12 universitas besar dihancurkan. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) secara terpisah melaporkan adanya kerusakan massal di jaringan sekolah yang mereka kelola di daerah kantong pesisir tersebut.

Sumber: Anadolu

Baca juga: Universitas Columbia ulur negosiasi dengan mahasiswa pro-Palestina
Baca juga: Mahasiswa AS pro Palestina masuki gedung kampus meski hadapi skorsing

Penerjemah: Yoanita Hastryka Djohan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024