Jakarta (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa ternyata akhirnya bisa juga mengeluarkan pernyataan yang keras dan tegas mengenai soal penyadapan pembicaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh dinas intelijen Australia.

Sebab, biasanya diplomat senior ini selalu mengeluarkan pernyataan yang sifatnya penuh dengan bahasa basa-basi atau ucapan yang diplomatis sekali.

"Australia telah mencederai sendiri satu per satu prinsip yang konon mereka junjung tinggi seperti demokrasi, privasi dan hubungan persahabatan dua negara. Satu per satu, dicederai, dilabrak dan dilanggar Australia," kata Menlu Marty kepada pers dalam jumpa pers khusus di Jakarta, Senin.

Ucapan Menlu itu muncul untuk menanggapi penyadapan pembicaraan Presiden Yudhoyono, istrinya Ani Yudhoyono serta mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada sekitar bulan Agustus tahun 2009.

Penyadapan pembicaraan telepon itu diduga dilakukan oleh Defence Signal Directorate atau Dinas Intelijen Elektronik Australia. Terbongkarnya rahasia ini menimbulkan arus caci-maki, umpatan terhadap ulah pemerintahan Canberra tersebut yang saat itu dipimpin Perdana Menteri Kevin Ruud.

Untuk menunjukkan ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap ulah Canberra tersebut, maka Marty memanggil pulang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema. Ketika ditanya wartawan, sampai kapan Dubes Nadjib akan dipanggil pulang, Marty hanya berkata, "Kami minta Dubes tidak hanya pulang dengan cabin bag".

Dengan mengeluarkan pernyataan itu, Marty tentu ingin memperlihatkan bahwa Nadjib tentu tidak akan pulang untuk satu dua hari saja.

Keputusan Kementerian Luar Negeri yang berkantor di Pejambon itu ternyata disambut baik oleh berbagai kalangan.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Tjahyo Kumolo mengatakan bahwa pemerintah Indonesia harus berani memperlihatkan sikap kepada negara-negara mitranya tentang mana negara yang merupakan kawan dan juga sebaliknya sebagai lawan.

"Penyadapan itu dilakukan terhadap lambang-lambang negara," kata politisi Tjahyo Kumolo.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menyatakan bahwa ulah Canberra itu membuktikan bahwa Australia itu ternyata bukan merupakan tetangga yang baik.

Indonesia keliru memposisikan Australia sebagai mitra yang strategis karena ternyata Australia memperlakukan pejabat Indonesia sebagai ancaman atau musuh," kata Mahfudz Siddiq.

Sementara itu, mantan Wapres Jusuf Kalla yang juga menjadi salah satu korban tindak penyadapan itu mempertanyakan ulah yang melanggar aturan internasional tersebut.

"Soal politik atau keamanan?," kata JK ketika mengomentari tindakan penyadapan itu..

Dengan mempertanyakan alasan penyadapan terhadap dalih politik atau keamanan itu Kalla yang masih tetap sibuk berbagai kegiatan termasuk Ketua PMI Pusat menegaskan bahwa tidak ada ancaman dari Indonesia terhadap negara tetangganya itu.



Biasa tapi janggal

Tindakan penyadapan oleh satu negara terhadap negara lainnya pada dasarnya bukan merupakan hal yang sangat luar biasa sekali walaupun bisa terasa janggal atau aneh.

Kanselir Jerman Angela Merkel baru-baru ini juga menuntut penjelasan yang terbuka dan tuntas terhadap pemerintahan Amerika Serikat yang juga menyadap pembicaraannya. Padahal siapa pun tahu bahwa Jerman dan AS adalah dua negara yang bersekutu sekali, sehingga tidak ada alasan bagi Washington untuk mencurigai Jerman.

Jika merenungkan ulah Australia terhadap Indonesia, maka tentu saja tindak penyadapan itu merupakan hal yang sangat aneh atau tidak lazim. Mengapa?

Indonesia dan Australia adalah dua negara bertetangga yang sudah menjalin hubungan selama puluhan tahun di bidang politik, ekonomi, sosial budaya hingga pertahanan sehingga tidak pantas bila Jakarta dicurigai atau dimata-matai oleh Canberra.

Yang lebih pasti lagi adalah tentu Indonesia tidak pernah berpikir untuk menyerang atau menyerbu negara kangguru itu, sehingga TNI tentu tidak perlu dianggap sebagai lawan militer bagi Australia.

Kalau begitu, untuk apa Canberra harus menyadap pembicaraan Presiden Yudhoyono, bahkan istrinya Ani Yudhoyono hingga Jusuf Kalla?

Karena tindakan penyadapan itu dilakukan pada sekitar bulan Agustus 2009, saat masa jabatan pertama SBY akan berakhir dan segera memasuki masa jabatan kedua hingga 2014, tentu Canberra ingin mengetahui apa saja pokok-pokok pikiran SBY baik tentang keadaan di Indonesia maupun hubungannya dengan semua negara mitranya termasuk Canberra. Karena pembicaraan yang bersifat sangat pribadi atau tertutup sulit sekali diketahui maka penyadapan dianggap sebagai langkah yang paling cepat dan efektif.

Pertanyaan yang seharusnya pantas diajukan Menlu Marty kepada Canberra adalah apakah mereka akan dengan sukarela akan membiarkan Indonesia untuk melakukan penyadapan terhadap semua pimpinan mereka seperti Perdana Menteri Tony Abbott ?.

Kalau Indonesia, misalnya, melalui Badan Intelijen Negara atau BIN serta Badan Intelijen dan Strategis TNI(Bais) Mabes TNI berhasil menyadap pembicaraan PM Abbot saat berada di Jakarta maka apakah muka Canberra akan tetap ceria atau gembira?

Penyadapan mungkin bisa diterima dalam suasana perang atau jika dua negara sedang bermusuhan atau bertikai. Namun apabila Jakarta dan Canberra sedang bermesraan, maka patutkak saling menyadap?

Terbongkarnya rahasia ini seharusnya mendorong Canberra untuk berpikir ulang tentang ulahnya itu, misalnya bagaimana kalau "Pejambon" minta atau memerintahkan dubes atau para diplomat Australia di Jakarta untuk meninggalkan Jakarta dalam beberapa hari mendatang.

PM Australia Abbott perlu mengingat bahwa belasan tahun lalu, misalnya Presiden Soeharto belasan tahun silam berani membubarkan forum negara donor dan lembaga keuangan internasional IGGI atau Inter Governmental Group on Indonesia karena Belanda yang memimpin IGGI selalu berusaha mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.

Karena itu, pemanggilan pulang Dubes Nadjib Riphat oleh Menlu Mary dari kantornya di Canberra perlu direnungkan Australia supaya hubungan bilateral tidak sampai anjlog ke titik nadir atau terendah, karena hal itu bisa merugikan baik Jakarta maupun Canberra.

Oleh Arnaz F. Firman
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013