Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mulyana W. Kusumah yang untuk kedua kalinya menjalani proses hukum di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), mengaku merasa tersiksa secara sosial dan psikologis akibat harus duduk di kursi pesakitan untuk kedua kalinya. "Proses peradilan dua kali dalam kapasitas yang sama sebagai ketua panitia pengadaan kotak suara itu, seperti penyiksaan sosial dan psikologis bagi saya dan keluarga," kata Mulyana usai persidangan yang berlangsung di Jakarta, Rabu. Ia juga mempertanyakan isi surat dakwaan yang menyatakan bahwa bersama-sama dengan Kepala Biro Logistik KPU, Richard Manusun Purba, telah merekayasa sejak awal untuk bekerjasama dengan Sihol P. Manullang, agar perusahaan yang dipimpin oleh Sihol lolos menjadi rekanan KPU untuk pengadaan kotak suara Pemilu 2004. "Dikisahkan bahwa rekayasa itu dimulai bulan April 2003, padahal saat itu saya dan RM Purba baru ditunjuk sebagai panitia pengadaan pada Agustus 2003. Jadi, itu kan nggak mungkin," tukasnya. Dalam surat dakwaan setebal 21 halaman, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang terdiri atas Khaidir Ramli, Endro Wasistomo dan Agus Salim, menjelasakan bahwa pada April 2003 Mulyana dan RM Purba telah ditemui oleh Sihol P. Manullang guna membicarakan masalah rencana proyek pengadaan kotak suara di KPU, dan selanjutnya Sihol memberikan contoh kotak suara. "Terdakwa kedua, RM Purba, sekitar Mei 2003 memberikan informasi pada Sihol tentang akan diadakannya pengadaan kotak suara Pemilu 2004," kata Khaidir Ramli. Mulyana juga menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang meminta untuk menjadi ketua panitia pengadaan dalam pemilu 2004, karena hal itu dilakukan melalui rangkaian sidang pleno KPU. "Di KPU tidak bisa seseorang itu mengusulkan diri jadi ketua pantia, karena harus diputuskan dalam pleno, jadi andai kata pun ada pendekatan tidak mungkin itu, tiba-tiba saya menjadi ketua panitia atas kehendak sendiri, karena diputuskan melalui sidang proses pleno yang panjang," katanya. Mulyana W. Kusumah dan RM Purba masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Panitia pengadaan kotak suara Pemilu 2004 didakwa telah melakukan korupsi dalam pengadaan barang tersebut karena prosesnya tidak sesuai dengan Keppres Nomor 18 tahun 2000. Keduanya didakwa telah memperkaya Sihol P. Manullang atau orang lain atau PT Survindo Indah Prestasi dan merugikan negara senilai Rp15,7 miliar. Mulyana maupun Purba dinilai melanggar hukum sesuai Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke satu KUH Pidana untuk dakwaan primer. Sedangkan, kedua terdakwa untuk dakwaan subsider dinilai melanggar hukum sesuai Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diperbaharui undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke satu KUH Pidana. "Banyak yang janggal dalam dakwaan itu mulai dari awal. Konstruksi maupun isi dakwaan sejak awal. Nanti, kita angkat dalam eksepsi yang saya dan penasehat hukum sampaikan nanti," tutur Mulyana. Majelis hakim yang diketuai oleh Murdiono dan beranggotakan Edy Pattinasarani, Hendra Yospin, M. Hadi Widodo dan Andi Bahtiar, akan melanjutkan persidangan pada Rabu (23/8) dengan agenda mendengarkan eksepsi dari kedua terdakwa dan masing-masing penasehat hukumnya. Mulyana saat ini masih menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang atas kasus suap terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Khairiansyah Salman senilai Rp300 juta, dan divonis dua tahun tujuh bulan penjara oleh Pengadilan Khusus Tipikor pada 12 September 2005. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006