Jakarta (ANTARA News) - Keluarga pencipta lagu dan Pahlawan Nasional, Ismail Marzuki, akan melaporkan perusahaan rekaman Sony BMG dan Blackboard serta dua operator seluler, PT Telkomsel dan PT Excelcomindo Pratama, ke Mabes Polri atas sangkaan pelanggaran hak cipta. "Benar, siang ini kami akan melapor ke Bareskrim Mabes Polri soal sangkaan pelanggaran hak cipta tersebut," kata Mahendradatta di Jakarta, Selasa. Mahendradatta mendapat kuasa dari sejumlah pencipta lagu dan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) untuk menjadi pengacara mereka dalam kasus pelanggaran hak cipta. Menurut Mahendradatta, perusahaan rekaman dan operator seluler tersebut disangka telah memperbanyak dan menyiarkan lagu "Rindu Lukisan" karya Ismail Marzuki dalam bentuk 'ringback tone' tanpa izin. "Seandainya dulu sudah ada izin, itu hanya terbatas pada penggandaan CD dan kaset yang jumlahnya terbatas," kata Mahendradatta. Selama ini lagu karya Ismail Marzuki diberikan hak ciptanya oleh YKCI. Manajer Perizinan YKCI, Heru, menyatakan YKCI tidak pernah mengizinkan penggandaan karya Ismail Marzuki dalam bentuk lain selain CD dan kaset. Menurut Mahendradatta, untuk menjadi sebuah `ringbacktone` lagu tersebut pasti diformat dalam bentuk digital. Untuk tindakan tersebut, katanya, dibutuhkan izin tersendiri yang harus dinyatakan secara tegas dalam bentuk tertulis sesuai UU 19/2002 tentang Hak Cipta. Untuk laporan ke Mabes Polri, keluarga Ismail Marzuki akan diwakili Rachmi Azizah, anak angkat almarhum yang selama ini diakui negara untuk menerima berbagai penghargaan yang ditujukan pada tokoh asal Betawi tersebut. Selain keluarga Ismail Marzuki, beberapa pencipta lagu juga akan turut melapor ke Mabes Polri dengan kasus yang sama, antara lain Rinto Harahap untuk karyanya "Benci Tapi Rindu" dan Tejo Baskoro untuk lagunya "Dalam Kelembutan Pagi". Mahendradatta mengatakan, selama ini tudingan dan tindakan terhadap praktik pembajakan karya cipta hanya ditujukan pada pengusaha kecil dan menengah, sementara untuk institusi besar orangnya tak pernah tersentuh. Selama ini, katanya, industri rekaman berdalih mempunyai atau memegang kontrak. "Melalui laporan ini dapat dibuktikan bahwa sebenarnya mereka tidak punya kontrak untuk itu. Mungkin saja mereka memegang kontrak untuk penyanyi atau pencipta baru yang belum mengerti perlindungan hak cipta terhadapnya sehingga mudah dirayu dan dijebak dalam sebuah kontrak yang sangat mencekik leher," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006