Pekanbaru (ANTARA News) - Semua kalangan buruh "naik pangkat" jadi pimpinan proyek, sehingga tidak ada lagi tuntutan terkait upah minimum buruh seperti yang diributkan sepanjang tahun.

Dengan demikian, maka selayaknya pemimpin itu juga harus memikirkan bagaimana mengurangi kuota impor daging yang selalu menjadi "ladang" bagi koruptor, namun mulai mendatangkan warga negara asing (WNA) untuk dipekerjakan sebagai buruh. Jangan cuma "ekspor" TKI jadi pembantu!

Karena tanpa buruh, apa mungkin pembangunan akan berjalan dan perekonomian berkembang dengan baik!

Terlebih ketika kelompok lainnya justru menginginkan semua pedagang kecil diberikan modal besar agar menjadi pengusaha kaya raya, dan petani dijatahi lahan dan pupuk secara cuma-cuma. Gratis...!

Jika itu direalisasikan, maka se-segeralah pemimpin untuk menghentikan impor kedelai yang selama ini harganya terus melejit, mendatangkan tangis bagi para perajin tahu-tempe. Gulung tikar...!

Sayangnya, itu semua merupakan permintaan yang tidak mungkin dilakukan bagi seorang pemimpin manapun. Tapi bisa jadi tertuang dalam "kontrak" politik masing-masing kandidat calon penguasa yang sejauh ini masih mengedepankan sifat egoismenya masing-masing.

Semisal penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Riau. Kondisinya bahkan seakan menjadi potert "birahi" egoisme para calon pemimpin yang haus akan kekuasaan.

Mereka "menelanjangi" diri sendiri dengan nafsu yang telah sampai ke umbun-umbun, tidak ada pilihan selain "masturbasi", keinginan untuk sampai pada titik kepuasan dan kenikmatan.

Seluruhnya termotivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egois..!

Namun itu adalah fakta, semuanya mengklaim kemenangan, "merobek-robek" kenyataan pahit yang semestinya mereka terima dengan lapang dada.

Tulisan ini adalah episode kedua, menyambung tulisan sebelumnya berjudul ; "Tanda-tanda Calon Pemimpin Pro-Koruptor".

Alkisah dari sebuah daerah, daratan di Pulau Sumatera, konon katanya, adalah salah satu provinsi terkaya ; "Atas dan bawah terdapat minyak yang berlimpah, tapi sayangnya di tengah-tengah adalah kemiskinan," kata pengamat politik dari Universitas Islam Riau, Emrizal, di suatu acara beberapa waktu lalu.

Daerah yang dimaksud adalah Provinsi Riau, yang baru saja selesai melaksanakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Riau periode 2013-2018.

Hebatnya, masing-masing kandidat mengakui keunggulannya lewat hasil hitungan cepat yang dilakukan masing-masing tim pemenangan mereka.

Situasinya semakin memanas dan membingungkan hingga berpotensi membuyarkan visi dan misi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menciptakan pilkada yang berkualitas.

Dalam pertarungan memperebutkan "kursi" Rusli Zainal ini, KPU setempat sebelumnya telah menetapkan sebanyak lima pasang kandidat.

Mereka adalah Herman Abdullah berpasangan dengan Agus Widayat nomor urut 1; Anas Maamun dengan Arsyadjuliandi Rachman (nomor urut 2); Lukman Edy-Suryadi Khusaini (nomor urut 3), Achmad-Masrul Kasmy (nomor urut 4); dan Jon Erizal-Mambang Mit (nomor urut 5).


Membingungkan

Kelima pasang calon gubernur dan wakil gubenur tersebut melakukan perhitungan cepat hasil pemungutan suara di seluruh TPS yang ada di kabupaten dan kota se-Riau dengan memanfaatkan saksi-saksi utusan masing-masing partai.

Untuk diketahui, pada pemilihan Gubernur Riau kali ini, KPU menetapkan ada sebanyak 11.669 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di sebanyak12 kabupaten dan kota di Riau.

"Yang membingungkan, semua hasil surveinya tidak ada yang sama. Masing-masing mengklaim unggul," kata Aryansah, seorang warga.

Semisal hitungan cepat yang dilakukan tim pemenangan pasangan Herman Abdullah-Agus Widayat menggunakan metoda "real count" mencatat, dari 2.183.452 suara, 30,63 persennya diklaim milik pasangan ini.

Sementara pasangan nomor urut 2 hanya memperoleh suara sebanyak 24,49 persen, Lukman Edy - Suryadi (12,57 persen), Achmad - Masrul (17,93 persen), dan pasangan Jon Erizal - Mambang Mit (15,65 persen).

Kemudian untuk hitungan cepat sementara versi tim pemenangan Anas Maamun Arsyadjuliandi Rachman mencatat keunggulan untuk pasangan dari Partai Golkar tersebut.

Data tersebut mencatat jumlah suara yang diraih pasangan ini mencapai 587.028 suara, sementara pasangan Herman-Agus hanya memperoleh 414.608 suara.

Untuk pasangan nomor urut 3 Lukman Edy-Suryadi hanya memperoleh 199.015, Achmad-Masrul (401.665 suara), dan Jon Erizal-Mambang Mit (252.636 suara).

Ada juga hitungan cepat versi tim pemenangan Lukman Edy-Suryadi serta pasangan Achmad-Masrul, dua pasangan ini justru dinyatakan unggul sementara oleh masing-masing "motor surveinya" dengan memperoleh suara diatas tiga pasang kandidat lainnya.

Sementara untuk pasangan nomor urut 5, Jon Erizal-Mambang Mit memilih untuk tidak mengumumkan hasil hitungan cepat yang dilakukan oleh tim pemenangannya.

Terkait hasil hitung cepat yang berbeda-beda tersebut, Ketua KPU Riau Tengku Edy Sabli mengaku pihaknya tidak bertanggungjawab.

"KPU memang tidak melakukan hitungan cepat. Perhitungan kertas suara baru akan dilakukan pada tanggal 14 September 2013," katanya. (FZR)

Oleh Fazar Muhardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013