Jakarta (ANTARA News) - Terpidana kasus penyuapan terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mulyana W Kusumah, minta kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyadapan dibatalkan. Mulyana yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Sirra Prayuna, dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis, minta agar Pasal 12 ayat 1 huruf a UU No 30 Tahun 2002 tentang Kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, dibatalkan, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28G UUD 1945. Mulyana juga minta agar Pasal 40 UU KPK yang menyatakan KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) serta Pasal 6 huruf c tentang Kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi dibatalkan. Sirra menyatakan dengan adanya aktivitas penyadapan, perekaman dan pencatatan pembicaraan tanpa setahu dan seijin pelakunya, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak leluasa untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. "Selain itu, KPK dalam melakukan penyidikan kasus Mulyana telah melakukan serangkaian penjebakan dan mengarahkan Mulyana untuk melakukan penyuapan, yang semua itu direkam dan disadap. Apakah itu dibenarkan," tuturnya. Ia juga menganggap kewenangan KPK untuk tidak mengeluarkan SP3 dan melakukan penyelidikan, penyidikan serta penuntutan perkara tindak pidana korupsi telah menyebabkan ketidakpastian hukum. "Pasal-pasal itu jelas telah mengebiri hak-hak terdakwa untuk mendapatkan kepastian hukum. SP3 adalah instrumen bagi tersangka untuk memulihkan martabatnya jika ternyata penyidik tidak menemukan alat bukti yang cukup," kata Sirra. Ia menambahkan, KPK akan cenderung memaksakan penuntutan suatu perkara meski tanpa alat bukti yang cukup dengan tidak adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3. Terpidana kasus korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan Pelabuhan di Tual, Maluku Utara, Tarcisius Walla, yang juga ditangani KPK, turut mengajukan uji materil UU KPK dalam satu berkas permohonan dengan Mulyana. Walla mengajukan uji materiil ketentuan penutup Pasal 70 dan 72 UU KPK tentang masa berlaku UU KPK sejak 27 Desember 2002. "Perkara korupsi Walla terjadi sebelum berlakunya UU KPK sehingga KPK tidak memiliki kewenangan untuk menyidik perkara tersebut," kata Sirra. Namun, Majelis Konstitusi yang dipimpin oleh I Dewa Gede Palguna menyatakan, MK sebelumnya telah menerima permohonan uji materil terhadap Pasal 12 ayat 1 huruf a dan Pasal 40 UU KPK yang diajukan oleh para mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada 2003. "Pasal-pasal itu pernah diajukan ke MK dan telah ditolak. Menurut Pasal 60 UU MK, MK tidak bisa lagi menguji Pasal suatu UU yang pernah dimohonkan dan ditolak," kata Palguna. Untuk itu, Majelis Konstitusi menyarankan kepada kuasa hukum pemohon untuk memperbaiki permohonannya, atau bahkan mencabut permohonan uji materiil kedua Pasal dalam UU KPK tersebut. Hakim Konstitusi lain, Maruarar Siahaan, juga mengatakan Pasal 70 dan 72 UU KPK kurang tepat untuk diujimateriilkan karena merupakan ketentuan penutup dari UU KPK sehingga tidak dapat menjelaskan hak konstitusional pemohon yang dirugikan. Dua pasal itu, lanjut Maruarar, secara eksplisit juga telah diputuskan oleh MK dalam perkara yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi pengadaan helikopter MI-2 oleh Pemprov NAD, Bram Manoppo. Dalam perkara yang diajukan Bram itu, MK menyatakan UU KPK tidak dapat berlaku surut (retroaktif). Atas saran MK tersebut, Sirra mengatakan akan memperbaiki permohonannya. Mulyana telah divonis 2 tahun 7 bulan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk kasus penyuapan. Namun, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu, masih harus menghadapi kasus dugaan korupsi lainnya di tubuh KPU dalam pengadaan kotak suara. Mulyana akan disidangkan untuk pertama kalinya dalam kasus pengadaan kotak suara Pemilu pada 9 Agustus 2006 di Pengadilan Tipikor. Sedangkan kasus korupsi Walla bersama Harun Let Let telah diputuskan pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA). MA memperberat hukuman bagi Let Let 11 tahun penjara dan Walla delapan tahun penjara. Meski kasus Walla telah berkekuatan hukum tetap (incracht), Sirra mengatakan jika MK mengabulkan permohonan uji materiilnya, maka akan berguna bagi Walla sebagai bukti baru untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006