Jakarta (ANTARA News) - Komisi D DPRD DKI Jakarta menyesalkan penjualan 49 persen saham Suez Environnement (SE), sebagai perusahaan induk PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) kepada dua perusahaan lainnya. Penyesalan itu terkait dengan proses pelepasan saham yang terkesan diam-diam dan tidak disampaikan terlebih dahulu kepada pihak Pemprov dan DPRD DKI Jakarta. "Saya menyesalkan, ada apa dibalik ini. Terlebih ketika Presiden Direktur Palyja tidak dapat memberikan jawaban berapa nilai saham yang dilepas dan untuk apa dananya," kata Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Sayogo Hendrosubroto dalam rapat dengan pimpinan Palyja dan Thames Pam Jaya (TPJ) di gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis. Lebih lanjut Sayogo mengaku terkejut karena proses penjualan saham itu telah dilakukan pada Selasa (25/7) dan tidak ada pemberitahuan resmi kepada DPRD DKI Jakarta. "Kita merasa kecolongan, terlebih karena sebetulnya anda-anda ini (Palyja dan TPJ-red) diundang berinvestasi di sini untuk meningkatkan manajemen dan pelayanan air minum di Jakarta," katanya. Sementara itu Presiden Direktur PT Palyja Thierry Krieg menyatakan maksud dari penjualan sebagian saham itu adalah sebagai upaya untuk menggandeng mitra lokal yaitu Astratel Nusantara (Astratel) dan Citigroup Financial Product Inc (Citigroup). "Hal itu juga sebagai upaya untuk meningkatkan mutu manajemen dan layanan," tuturnya. Namun Thierry menyatakan tidak berwenang menjelaskan besaran nilai saham yang dijual dan meyakinkan bahwa tidak ada sepeser pun merugikan Palyja, meski diakuinya dana penjualan 49 persen saham itu kini masuk ke Suez Environnement dan bukan ke Palyja. Komisi D DPRD DKI menilai penjualan saham itu tidak pantas karena nyaris semenjak adanya Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan PAM Jaya pada 1997, Suez Environnement (SE) memiliki 80 persen saham di Palyja sebagai bagian dari kerjasama itu yang diperhitungkan dengan modal yang akan diinvestasikan. Kemudian dalam perjalanannya komposisi saham menjadi 95 persen dan akhirnya setelah masa reformasi lima persen saham dari PT Bangun Cipta Sarana dijual kepada SE sehingga saham SE menjadi 100 persen di Palyja. "Palyja juga menjual obligasi pada 2005 di Bursa Efek Surabaya (BES) dan mendapatkan dana Rp650 miliar yang kemudian digunakan untuk membayar hutang mereka sebesar Rp910 miliar," kata Sayogo. Ia menyatakan jangan sampai ketika hutang akan lunas maka kemudian perusahaan itu hanya mengambil keuntungan semata tanpa menjalankan kewajibannya seperti yang tertuang dalam PKS.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006