Bandung (ANTARA News) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan siap membuat desain alat pendeteksi atau sistem peringatan dini tsunami dengan harga yang lebih murah dibandingkan produk impor dari Jepang. "Insya Allah, kita bisa kalau BPPT diminta merancang bangun alat pendeteksi tsunami tersebut," kata Kepala BPPT Said D Jenie di sela-sela acara Seminar Nasional Tenaga Listrik dan Mekatronik, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bandung, Kamis. Menurut dia, harga alat pendeteksi tsunami produksi impor berkisar antara Rp4 sampai Rp5 miliar/unit, namun produk BPPT akan lebih murah dari harga itu. Ia mengatakan sebetulnya teknologi alat pendeteksi tsunami itu, standar dengan alat pengukuran getaran, kemudian tidemeter (pengukur tinggi pasang surut) yang kemudian ditambah dengan alat tekanan udara, kecepatan angin dan kecepatan arus. "Peralatan itu terdiri dari peralatan yang mengapung di permukaan dan peralatan di dasar laut yang mengindera gerakan gempa laut," katanya. Selanjutnya, kata dia, dengan teknologi akustik ditransmitkan ke peralatan yang mengapung dan peralatan yang mengapung itu ditransmitkan melalui satelit ke stasiun sentral peringatan dini. "Untuk teknologi itu, semuanya kita punya," ujarnya. Ia menyebutkan BPPT sendiri sudah mempersiapkan untuk pembuatan alat tersebut, dan intinya ketika dana sudah ada langsung dibuat. Pemerintah sendiri melalui Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla yang menjabat juga sebagai Kepala Koordinasi Bencana Nasional, kata dia, sudah menanyakan dalam pertemuan dengan BPPT dan sejumlah instansi lainnya di Jakarta pada Rabu (26/7), apakah bisa membuat alat tersebut. "Tapi yang jelas menurut Wapres, alat tersebut harus lebih murah dan kalau bisa handal jangan sekali pakai rusak," katanya seraya menyebutkan perkiraan biaya yang diperlukan untuk pembuatan alat tersebut, sudah ada namun menolak untuk menjawabnya karena bukan kompetensinya. Sementara itu, Kepala LIPI, Umar Anggara Jenie mengatakan pihaknya sudah melakukan rapat dengan Wapres Jusuf Kalla yang isinya adalah pemerintah menginginkan Early Warning System (EWS) tsunami bisa berjalan sehingga memungkinkan masyarakat mempunyai kesempatan sekitar 20 menit untuk dievakuasi. "Kita akan membuat EWS, oleh karena itu diadakan rapat yang dihadiri oleh menristek, LIPI, BPPT, BMG, Menkeu, Menkominfo, dan Mendagri di Jakarta pada Rabu (26/7). Semuanya sepakat untuk membuat sistem itu," katanya. Ia menyebutkan Selasa (1/8) akan menggelar rapat lagi yang akan membahas masalah sistem pendanaan EWS tersebut. Dikatakannya, bencana tsunami di Pangandaran merupakan yang kedua kalinya setelah sebelumnya terjadi di Aceh pada 2004, karena itu pembangunan sistem tersebut ingin dipercepat. Sedangkan alatnya sendiri ada yang dibeli dari luar dan ada pula yang dibuat sendiri.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006