Bogor (ANTARA News) - Dua ekor orangutan (Pongo pygmaeus) asal Kalimantan yang diselundupkan ke Vietnam, Senin, dikembalikan lagi kepada pemerintah Indonesia. Kedua orangutan itu dijadwalkan tiba di terminal E (kargo) Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, sekitar pukul 17.00 WIB. "Kedatangan dua orangutan dari Vietnam itu akan diterima oleh Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH) Perlindungan Hutan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan (Dephut), Dr Adi Susmianto," kata Tony Sumampau, Direktur Lembaga Konservasi "Ex-Situ" Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Kabupaten Bogor kepada ANTARA. Lembaga Konservasi "Ex-Situ" TSI Cisarua adalah lembaga yang diberi tugas untuk melakukan karantina orangutan tersebut, karena dinilai memiliki fasilitas karantina yang lebih baik. Ia menjelaskan, dua orangutan itu diselundupkan ke Vietnam sekitar satu atau dua tahun lalu. Kasus ini terungkap setelah otoritas Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) di Jenewa menerima laporan keberadaan kedua satwa liar itu di sebuah hotel di Vietnam. Hal tersebut selanjutnya diberitahukan kepada pemerintah Indonesia. Atas laporan itu, Indonesia mengirimkan surat kepada pemerintah Vietnam, dan setelah diselidiki, diketahui bahwa kedua orangutan itu berasal dari hutan di Kalimantan. Menurut Tony Sumampau --yang juga Koordinator Umum Forum Konservasi Satwaliar Indonesia (FOKSI), yakni wadah berkumpulnya berbagai elemen, termasuk jurnalis yang peduli pada agenda konservasi satwaliar-- orangutan termasuk binatang dilindungi dan dilarang diperdagangkan karena tercatat dalam daftar CITES, sehingga untuk mendapatkan orangutan sebagai koleksi atau maksud lain membutuhkan izin presiden. "Jadi bagaimana kedua orangutan itu bisa sampai keluar dari habitat aslinya di Kalimantan hingga ke Vietnam, tentu yang bisa menjawab itu adalah otoritas pemerintah yang berwenang," katanya. Berkaitan dengan tugas karantina yang dimandatkan kepada TSI Cisarua, ia menjelaskan bahwa setelah diserahterimakan dari Vietnam ke Indonesia, maka pihaknya akan melakukan tugas karantina selama kurang lebih satu bulan. "Setelah itu, terserah Dephut sebagai otoritas pemerintah yang berwenang untuk mengambil kebijakan, apakah dilepasliarkan kembali di habitat aslinya di hutan Kalimantan atau diserahkan kepada lembaga-lembaga konservasi lainnya," katanya. Mengkhawatirkan Sementara itu, Kepala Pusat Informasi Kehutanan Dephut, Achmad Fauzi menjelaskan, orangutan merupakan satwa dilindungi yang saat ini keberadaannya cukup mengkhawatirkan karena mendekati kepunahan. Di Indonesia, populasi orangutan hanya terdapat di Sumatera (Pongo pygmaeus abelii) dan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Populasinya dari waktu ke waktu semakin menurun. Rijksen dan Meijaard (1999) memperkirakan pada tahun 1996 populasi di alam sekitar 35.000 individu (Kalimantan 23.000 dan Sumatera 12.000). Dan tahun 1997 setelah adanya kebakaran hutan, diprakirakan tersisa 27.000 individu (Kalimantan 15.000 dan Sumatera 12.000). Tahun 2006, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal PHKA, populasi orangutan diperkirakan sekitar 20.000 individu (Kalimantan 13.000 dan Sumatera 7.000). Semakin menurunnya populasi orangutan, antara lain dikarenakan kerusakan habitatnya yang disebabkan oleh pembukaan hutan untuk kepentingan konversi tanpa memperhatikan keanekaragaman hayati, dan praktik kejahatan "illegal wildlife trade". Untuk itu perlu penanganan konservasi orangutan secara serius, kata Fauzi. Upaya konservasi yang telah dilakukan meliputi penetapan kawasan konservasi, rehabilitasi (perawatan medis), translokasi (pemindahan individu atau kelompok ke areal yang berbeda), penegakan hukum kejahatan satwa dan operasi pengamanan terpadu, pembangunan Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) atau Rescue Center, kerjasama kemitraan, dan introduksi (memperkenalkan habitat yang baru setelah orang utan dirawat di rescue center). Ia menjelaskan, pada bulan Juli 2004 pemerintah Thailand melakukan pemeriksaan orangutan di "Theme Park" di Bangkok dan menyita lebih dari 100 orangutan. Setelah dilakukan tes DNA, ternyata 57 diantaranya bukanlah anak dari orangutan yang terdaftar pada "Theme Park" tersebut, dan memperlihatkan bahwa mereka berasal dari alam. Beberapa dari 57 orangutan tersebut telah mati dan sisanya dipelihara oleh pemerintah Tahiland di Khao Pratubchang Wildlife Breeding Centre. Berdasarkan CITES Article VIII (4), Department of National Park, Wildlife and Plant Conservation, Ministry of Natural Resources and Environment, Thailand berkeinginan untuk merepatriasi orangutan sitaan termasuk ke Indonesia. Proses yang harus dilakukan untuk repatriasi ini adalah, pemeriksaan/cek kesehatan, terutama untuk TBC, Hepatitis B dan parasit, yang dilakukan secara bersama-sama antara Thailand dan Indonesia. Pengambilan darah untuk analisa genetik pada semua orangutan sitaan untuk mengetahui secara tepat asal orangutan, dan sementara analisa genetik dilakukan, akan dilaksanakan pengembalian orangutan secara aman dari Thailand ke Indonesia. Sedangkan pembiayaan untuk pemeriksaan kesehatan dan transportasi orangutan sitaan ke Indonesia akan menjadi tanggung jawab Indonesia. Pemerintah Indonesia menyambut baik keinginan Thailand untuk mengembalikan orangutan sitaan dan menginformasikan bahwa Indonesia memiliki beberapa pusat rehabilitasi orangutan yang siap menerima dan merawat orangutan sitaan dari Thailand. Ia menambahkan, pemerintah Thailand sangat peduli untuk bekerjasama dengan para ahli di Indonesia, agar repatriasi dapat dilaksanakan secepat dan seaman mungkin. Kedua belah pihak juga sepakat bahwa orangutan yang direpatriasi tidak akan dimanfaatkan untuk tujuan komersial.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006