Militer telah memanipulasi ketidakpuasan sebagian rakyat terhadap pemerintahan Mursi demi menggenggam kekuasaan di tangannya sendiri."
Jakarta (ANTARA News) - "Universal Justice Network (UJN)" mengecam keras pembantaian yang dilakukan militer Mesir terhadap pengunjuk rasa damai pro-Presiden Muhammad Mursi.

Pada mulanya demonstrasi itu berlangsung damai, karena para pengunjuk rasa hanya menuntut Presiden Muhammad Mursi dibebaskan dari tahanan militer. Mereka mendesak legalitas berdasarkan konstitusi dan aspirasi rakyat hasil Pemilu.

"Lalu, mengapa militer merespon dengan senjata. Padahal, demonstran oposisi sebelumnya dibiarkan bebas menyuarakan anti-pemerintah dan dilindungi tank militer," kata anggota Dewan Pendiri UJN asal Indonesia, Heru Susetyo di Jakarta, Rabu.

UJN adalah aliansi LSM pro-kemanusiaan dan perlindungan HAM yang dibentuk aktivis dari 14 negara, di antaranya Indonesia, Malaysia, Thailand, Inggris, Amerika Serikat, Nigeria, Afrika Selatan, Iran, India, Srilangka dan lain-lain.

Tujuan UJN adalah menggalang inisiatif internasional untuk perlindungan HAM dan kebebasan sipil.

Anggota pendiri UJN di antaranya Massoud Shadjareh (Inggris), Mohideen Abdul Kadeer (Malaysia), Heru Susetyo (Indonesia), Imam Mohammad Asi (AS), Faris Sali (Sri Lanka), Jalal Sarawoot (Thailand), Ahmet Mazlumder (Turki), Imam Cassiem (Afrika Selatan).

Heru mengatakan pembantaian yang dilakukan militer Mesir membuktikan bahwa klaim mereka menjaga keamanan publik dan mengawal Revolusi 25 Januari 2011 adalah palsu.

"Militer telah memanipulasi ketidakpuasan sebagian rakyat terhadap pemerintahan Mursi demi menggenggam kekuasaan di tangannya sendiri," katanya.

Ia mengatakan pemerintahan sementara dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Adli Mansur hanya boneka karena kontrol sepenuhnya masih dipegang Jenderal Abdul Fattah al-Sisi.

"Saat ini terbukti militer tidak bersikap netral dan melakukan pembantaian yang melanggar Deklarasi HAM se-dunia serta konvensi internasional untuk kebebasan sipil dan anti-kekerasan," kata Heru, kandidat doktor di Mahidol University, Thailand untuk hukum humaniter.

Sementara itu, Direktur Eksekutif "Center for Indonesia Reform" (CIR) Drs Sapto Waluyo, M.Sc juga melontarkan kecaman serupa.

"Karena militer Mesir telah melanggar kebebasan sipil sesuai standar internasional, maka PBB dapat men-suspend keanggotaan Mesir di bawah kepemimpinan sementara, sebagaimana Uni Afrika telah melakukan hal itu. Anggota PBB seperti Indonesia juga dapat melakukan tekanan internasional untuk melindungi warga sipil," katanya.

CIR merupakan lembaga kajian strategi dan kebijakan, serta rujukan informasi untuk masalah politik, ekonomi, sosial-budaya, sains-teknologi, serta hukum dan hak asasi manusia (HAM), yang didirikan pada 30 November 2001 di Jakarta.

Menurut dia, status Mesir dapat dipulihkan apabila otoritas resmi dikembalikan kepada pemerintahan yang sah hasil Pemilu.

Militer Mesir, katanya, tidak hanya harus menghentikan kekerasan bersenjata, namun juga membebaskan Mursi dan para tahanan politik lainnya, karena masa darurat militer sudah berakhir.

Sapto menyesalkan sikap kaum liberal yang turut mendukung langkah militer melakukan kudeta.

"Itu bertentangan dengan prinsip demokrasi liberal," kata alumni Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) yang menamatkan S-2 di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS) kampus Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu.

"Jika mereka berbeda pandangan dengan pemerintahan Mursi, silakan berdemo, tapi jangan biarkan militer berkuasa. Kalau mereka mau memerintah, harus jantan ikut Pemilu yang dijadwalkan empat tahun sekali. Presiden Mursi mencoba meletakkan fondasi sistem presidensialisme berbasis konstitusi, dan sekarang dibajak militer," tambahnya.

Kelompok anti-Mursi kini terpecah, setelah Partai An-Nur menarik diri karena militer mengajukan tokoh liberal Mohammed el-Baradei sebagai calon Perdana Menteri.

Sementara kelompok kiri (sosialis-Nasseris) yang memelopori gerakan Tamarrud (pembangkangan) justru makin radikal. Merekalah yang melakukan anarki dan kekerasan di berbagai tempat dengan "back up" militer.

Sedikitnya 51 orang tewas dalam bentrokan di Kairo, Senin (8/7), dan 435 demonstran luka-luka. Sebelumnya pada Jum`at (5/7) juga terjadi bentrok dan 47 dinyatakan tewas.  (A035/M019)

Pewarta: Andi Jauhari
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013