Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah cq Departemen Perindustrian mengusulkan untuk memberikan insentif pajak investasi atau "investment tax allowance" untuk investor baru maupun lama yang melakukan pengembangan industri kimia di Indonesia. Insentif terutama akan diberikan untuk investor yang membangun dan melakukan perluasan industri kimia, petrokimia, oleokimia, dan bahan baku obat. "Dalam waktu dekat kita masih membutuhkan satu olefin centre lagi. Kemudian jangka waktu lima sampai 10 tahun ke depan, kita perlu satu lagi, sebesar (produsen kimia) Chandra Asri," kata Dirjen Industri Agro dan Kimia (IAK) Deperin, Benny Wahyudi, di Jakarta, Selasa. Hal itu dikemukakannya usai membuka pertemuan Kelompok Kerja Komite Kerjasama Industri dan Ekonomi ASEAN dengan METI-Jepang di bidang industri kimia, yang dihadiri kalangan pengusaha kimia dan perwakilan pemerintah negara-negara ASEAN dan Jepang. Benny mengatakan walaupun Indonesia sudah memiliki pusat olefin dan komplek industri kimia yang lengkap di Banten, namun untuk pengembangan dan memperkuat industri ke depan, Indonesia masih membutuhkan pusat industri kimia yang cukup besar. Untuk itu, kata dia, Deperin telah mengusulkan diberikannya insentif pajak investasi bagi industri baru maupun lama yang melakukan pembangunan dan perluasan industri kimia di Indonesia. "Saya tidak mau mendahului, itu akan keluar dalam bentuk PP (peraturan pemerintah)," katanya. Ia menjelaskan insentif pajak investasi itu adalah insentif bagi perusahaan yang melakukan investasi di Indonesia, berupa pengurangan pajak pendapatan sebesar 30 persen dari nilai investasi. "Jadi katakanlah investasinya100, kemudian setiap dia untung, keuntungan harus kena pajak, tapi pajak keuntungan dikurangi 30 persen dibagi katakanlah lima sampai enam tahun (yang diberi insentif), maka dikurang enam persen dari nilai investasinya," katanya. Dikatakan Benny, hal itu akan cukup menarik bagi kalangan investor untuk menanamkan investasinya di Indonesia, khususnya di sektor kimia. Sedangkan pemerintah tidak kehilangan pendapatan, karena semakin besar keuntungan, semakin besar pajak yang diberikan. Selain itu, lanjut dia, untuk menarik investasi secara menyeluruh pemerintah juga sedang merevisi Undang-Undang PMA dan PMDN. Di Indonesia, kata dia, sektor kimia khususnya petrokimia memberi kontribusi yang cukup besar terhadap GDP yaitu mencapai 13,41 persen dan pertumbuhan industrinya tahun lalu mencapai 5,85 persen. Sementara itu, Ketua Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplast) Didie Soewondo mengatakan selama ini daya saing industri kimia Indonesia masih kalah dengan Thailand, yang harganya lebih bersaing. Menurut dia, keunggulan Thailand itu karena industri kimianya besar-besar sehingga skala ekonomisnya tercapai dan memiliki fasilitas infrastruktur yang lengkap dari pemerintahnya, sementara di Indonesia kalangan industri harus membangun fasilitas sendiri. "Ini yang juga harus kita dorong, paling tidak skala produksinya sama. Kalau mereka 300 hari produksi, kita juga, jangan hanya 200 hari, itu akan menambah biaya," katanya. Lebih jauh Didie juga berharap agar nafta yang diproduksi di dalam negeri tidak diekspor, tapi diprioritasnyak pasokannya untuk industri kimia di dalam negeri, mengingat harga minyak dunia yang terus meningkat. Dikatakannya dengan harga minyak mencapai 70-an dolar AS per barel, maka harga nafta mencapai 430-450 dolar per ton. (*)

Copyright © ANTARA 2006