Jakarta (ANTARA News) - Tidak harmonisnya (disharmonis) tarif bea masuk (BM) antara bahan baku dan produk jadi menghambat minat investasi industri, khususnya otomotif dan elektronika, yang ketergantungan impor komponennya cukup tinggi. Pendapat itu dikemukakan sejumlah pelaku industri di dalam negeri pada diskusi Kadin Indonesia Bidang Industri, Teknologi dan Kelautan, di Jakarta, Selasa. "Logikanya barang mentah itu BMnya lebih rendah dari barang jadi karena ada nilai tambahnya, tapi kenyataannya kalau kita teliti banyak sekali yang tidak harmonis, sehingga menghambat keinginan orang untuk investasi," kata Dewan Pengurus Asosiasi Produsen Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata. Ia mencontohkan ada BM produk setengah jadi yang perlu diolah kembali di Indonesia dikenakan lima persen, sedangkan produk jadinya nol persen, seperti komponen rantai. "Itu harus diteliti satu per satu karena akan menghambat orang melakukan investasi, karena dengan tidakharmonisnya tarif produksi maka komponen jadi di dalam negeri jadi tidak bersaing. Kalau dia investasi mubazir," katanya. Hal senada dikemukakan salah satu Ketua Gabungan Elektronik (GABEL) Heru Santoso. Ia mengatakan struktur BM komponen dan bahan baku belum mendukung pertumbuhan industri di dalam negeri. Padahal, kata dia, ketergantungan komponen bahan baku produk elektronik masih tinggi mencapai 50 persen, karena industri pendukungnya di dalam negeri masih minim. Heru mencontohkan BM bahan baku lemari es berkisar antara 5 sampai 20 persen, seperti engsel (20 persen), screw (15 persen), heater (15 persen) serta evaporator dan kondesor (lima persen). "Tapi barang jadinya dengan CEPT AFTA, BMnya menjadi nol persen. Demikian pula dengan produk elektronik lainnya seperti AC dan mesin cuci," katanya. Heru juga menyoroti proteksi pemerintah terhadap BUMN khususnya baja menyebabkan industri lainnya termasuk elektronik harus menanggung beban biaya produksi yang tinggi. "Selama ini industri elektronik membutuhkan cetakan baja yang besar, tapi BM bajanya tinggi. Flat baja lembaran dingin CRC mencapai 12,5 persen, sedangkan produk jadi nol persen, itu membuat industri sulit bersaing," katanya. Selain itu, lanjut Heru, aturan otonomi daerah juga banyak yang kontroversial sehingga memberi beban tambahan kepada industri, seperti keharusan pengusaha mengikuti Asuransi Kecelakaan Diri di luar Hubungan Kerja (AKDHK) 0,24 persen dari upah. Heru khawatir berbagai hal yang menghambat itu tidak diselesaikan pemerintah, maka kinerja industri elektronika di Indonesia akan semakin ketinggalan dibandingkan negara ASEAN lainnya. Ia mencontohkan pada 2004 ekspor elektronik jauh ketinggalan dibandingkan negara tetangga. Ekspor elektronik Indonesia hanya mencapai 7,9 miliar dolar AS Philipina 24,1 miliar dolar AS, Malaysia 63,5 miliar dolar AS dan Singapura 41 miliar dolar AS.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006