London (ANTARA) - Kekhawatiran pemerintah Rusia bakal tergerusnya otak-otak teknologi vital menjadi faktor utama yang membuat Rusia enggan menasionalisasi Yandex yang sering digadang-gadangkan sebagai "Google Rusia" itu, ungkap empat orang yang mengetahui rencana divestasi perusahaan tersebut kepada Reuters.

Perusahaan yang terdaftar di bursa Nasdaq di Amerika Serikat itu sudah menjadi subyek berbagai spekulasi sejak mengumumkan rencana restrukturisasi pada November lalu.

Langkah ini pada akhirnya akan membuat bisnis yang memperoleh pendapatan utamanya di dalam negeri Rusia itu dipecah (spin off) dari perusahaan induknya yang terdaftar di Belanda.

Sebagai perusahaan teknologi terkemuka Rusia, Yandex adalah salah satu dari sedikit perusahaan Rusia yang memiliki ambisi global sejati sebelum Moskow melancarkan perang di Ukraina pada Februari 2022.

Banyak stafnya sudah pindah ke luar negeri, beberapa di antaranya hengkang ke Serbia, di mana kantor barunya menjadi seketika penuh.
Baca juga: Imbas sanksi, aplikasi bank digital Rusia dihapus dari App Store

Maksut Shadaev, kepala kementerian digital Rusia, mengatakan kepada parlemen pada Desember bahwa sekitar 100.000 spesialis TI sudah meninggalkan Rusia pada 2022.

Dalam sebuah perusahaan di mana pengetahuan staf sangat penting dalam mempertahankan posisi terdepan dalam teknologi pencarian, periklanan, dan ride-hailing (transportasi daring), akuisisi secara paksa oleh negara yang memicu eksodus bakat menimbulkan kerugian besar, kata sejumlah sumber.

"Sudah pasti jika (nasionalisasi) itu terjadi, maka lambat laun perusahaan ini bakal musnah," kata salah satu orang yang mengetahui pembicaraan soal rencana divestasi itu.

"Dan inilah yang mungkin yang membuat langkah keras urung diambil," lanjutnya.

Dalam laporan keuangan akhir bulan lalu, perusahaan itu mengatakan rencananya dalam merestrukturisasi perusahaan mengalami kemajuan.
Baca juga: AS minta perusahaan mematuhi pemberlakuan sanksi terkait Rusia

Pemerintah Rusia sudah melakukan hal semacam itu sebelumnya.

Tahun lalu mereka menyita aset proyek minyak dan gas Sakhalin lewat dekrit presiden dan pada 2023 menyita aset Rusia dari empat perusahaan Barat di bawah aturan "kendali sementara", termasuk mengalihkan pengelolaan anak perusahaan Danone di Rusia, kepada keponakan pemimpin Chechnya, Ramzan Kadyrov. Danone adalah grup bisnis makanan dari Prancis.

Dalam sebuah pernyataannya Kamis ini, salah seorang pendiri Yandex, Arkady Volozh, mengkritik apa yang disebutnya invasi "biadab" Rusia.

Volozh mengaku fokus mengeluarkan "insinyur-insinyur berbakat Rusia" dari negara itu sejak perang di Ukraina dimulai.

"Orang-orang ini kini sudah keluar, dan dalam posisi memulai sesuatu yang baru guna terus mendorong inovasi teknologi," kata dia. "Mereka akan menjadi aset yang luar biasa hebat bagi negara tempat mereka mendarat."
Baca juga: Rusia akan hukum perusahaan teknologi asing

Tak diketahui pasti apakah pernyataan Volozh itu mempengaruhi bagaimana Rusia memutuskan tindakan terhadap perusahaan tersebut.

Sumber-sumber mengatakan kepada Reuters pada Mei bahwa pemegang saham induk Yandex di Belanda, yakni Yandex NV, bisa saja memperoleh pemasukan 7 miliar dolar AS dari divestasi penuh anak perusahaannya di Rusia itu dan bahwa Yandex sudah menerima penawaran dari sejumlah miliarder Rusia.

Namun, kemungkinan Yandex berhasil melakukan divestasi semakin kecil, kata tiga orang sumber.

Saat ini, pembicaraan divestasi itu terhenti. Sumber keempat menyebutkan orang-orang Yandex adalah aset utama dan tidak ada satu pun yang ingin terlihat tengah "membunuh perusahaan itu."

Salah satu dari sumber-sumber itu menyebutkan kalangan konservatif dalam perusahaan-perusahaan negara percaya tak ada yang harus dibayarkan kepada pihak asing.

Ada risiko bahwa "otak-otak" di Yandex ramai-ramai menghilang, seandainya perusahaan tersebut dinasionalisasi atau dijual kepada perusahaan BUMN, tambah sumber itu.
Baca juga: CES 2023 larang perusahaan teknologi Rusia berpartisipasi

Andrei Kostin, CEO VTB yang merupakan bank BUMN Rusia, pada Juni mengusulkan agar pemerintah Rusia menguasai sementara aset Yandex, mengabaikan fakta bahwa investor-investor Barat bakal memperoleh keuntungan.

VTB adalah satu-satunya pihak yang secara terbuka sudah mengajukan penawaran kepada Yandex, sebelum kemudian mengumumkan menarik diri dari proses tersebut. Dua sumber mengatakan VTB tidak pernah dianggap sebagai calon pembeli Yandex mengingat bank itu terkena sanksi (Barat).

Mengekstraksi dana dari Rusia semakin sulit. Mendapatkan persetujuan untuk kesepakatan-kesepakatan bisnis, kini menjadi proses yang panjang dan berliku, termasuk karena adanya tuntutan pemerintah Rusia agar memberikan diskon 50 persen, kata para eksekutif perusahaan Barat kepada Reuters.

Bagi Yandex, sanksi AS bulan lalu terhadap Alexei Kudrin, mantan menteri keuangan yang bertindak sebagai mediator Kremlin dan perusahaan itu, menambah ruwet persoalan, kata dua sumber.

Sumber: Reuters

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023