Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPR, Agung Laksono, meminta Australia menjaga perangainya sebagai tetangga yang baik dan Pemerintah Indonesia jangan mau didikte Pemerintahan Perdana Menteri John Howard tentang masalah keamanan dan hukum terkait dengan masalah Abu Bakar Ba`asyir. "Ba`asyir sudah keluar ya sudah, dan dia sudah menjalani masa tahanannya. Kita tidak perlu lagi melayani kekhawatiran-kekhawatiran. Saya kira itu sikap yang lebih menunjukkan paranoid (Australia)," katanya kepada wartawan di sela acara peluncuran buku panduan tentang perlindungan pengungsi bagi anggota parlemen di Jakarta, Selasa. Buku tentang perlindungan pengungsi itu diluncurkan Wakil Regional Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Robert Ashe. Agung juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dapat lebih menunjukkan Indonesia sebagai negara berdaulat dan berhak penuh untuk mengatur dirinya sendiri dalam pertemuannya dengan PM Howard yang direncanakan berlangsung akhir Juni di Batam. Jika Australia memaksakan kehendak, Indonesia tidak perlu mendengarkan itu. "Memaksakan apa, kan tidak ada sanksinya," katanya. Sehari sebelumnya, sejumlah anggota parlemen juga meminta Indonesia agar menolak mentah-mentah tekanan Australia soal kebebasan Amir(pimpinan ) Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Abu Bakar Ba`asyir. Mereka menilai, pertemuan kedua kepala pemerintahan yang disebut-sebut berlangsung di Batam pada 26 Juni tidak akan efektif jika Howard tetap meneruskan upayanya mencampuri masalah itu. Isu visa Menurut Ketua Komisi I DPR, Theo L Sambuaga, pertemuan kedua pemimpin yang direncanakan berlangsung di Batam akhir Juni itu, sebaiknya hanya membahas upaya memperbaiki hubungan kedua negara, termasuk isu pemberian visa sementara oleh Canberra kepada 42 pencari suaka politik asal Provinsi Papua. Dalam soal kebebasan Ba`asyir pada 14 Juni lalu dari LP Cipinang Jakarta, Theo mengatakan, Indonesia menolak mentah-mentah jika Howard mencampuri urusan pengadilan, karena masalah Ba`asyir sudah menjadi otoritas hukum Indonesia. "Kita tolak mentah-mentah jika Howard mencampuri urusan pengadilan Ba`asyir. Siapa pun harus menghormati proses hukum (Indonesia)," katanya saat ditemui ANTARA di sela rapat dengar pendapat dengan Menteri Komunikasi dan Informatika, Sofyan Djalil, dengan Komisi I DPR. Senada dengan Theo, anggota Komisi I dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Tosari Wijaya, pun menekankan hal yang sama seraya mengatakan negara mana pun harus menghormati proses hukum di Indonesia. "Pemerintah sudah punya sikap yang jelas tentang Ba`asyir. Jadi jika pertemuan (di Batam) itu membahas masalah Ba`asyir tidak akan efektif," katanya. Reaksi Howard itu berlebihan dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Howard meragukan hukum Indonesia, katanya. Anggota Komisi I DPR yang lain, AS Hikam dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) berpendapat, Indonesia jangan disalahkan dalam masalah Ba`asyir. Sepatutnya, negara-negara besar membantu dengan menghadirkan orang-orang yang dianggap saksi kunci, seperti Hambali, dalam upaya pemberantasasn terorisme. Pertemuan kedua pemimpin di Batam itu nantinya harus lebih konstruktif untuk memperbaiki hubungan kedua negara, kata Hikam. Terkait dengan kebebasan Ba`asyir dari LP Cipinang Jakarta 14 Juni lalu, PM Howard dan sejumlah orang tua yang kehilangan anaknya dalam insiden Bom Bali 12 Oktober 2002 kecewa berat atas bebasnya pendiri Pondok Pesantren Al Mukmin , Ngruki Sidoardjo itu. "Saya ingin mereka mengerti, atas nama pemerintah dan dari saya, betapa amat-sangat kecewa dan menderitanya jutaan rakyat Australia atas bebasnya Abu Bakar Ba`asyir," kata Howard dalam acara Lateline di Stasiun Televisi ABC bertajuk "Indonesia Tolak Perpanjangan Hukuman Ba`asyir" seperti dikutip ANTARA 15 Juni lalu. Bahkan Howard, seperti dilansir berbagai media massa, menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mengungkapkapkan apa yang disebutnya" kemarahan "rakyat Australia atas kebebasan Ba`asyir. Pengasuh Pesantren Al Mukmin itu mengakhiri masa tahanannya selama 30 bulan pada 14 Juni 2006. Ia kini kembali ke Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah bertemu dengan umat dan keluarganya. Ustadz Abu Bakar Ba`asyir divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 30 bulan penjara dipotong masa tahanan pada Mei 2005. Ketika vonis itu dijatuhkan, Pemerintah dan sebagian publik Australia pun sudah menanggapinya secara negatif karena mereka mengganggap masa hukuman 30 bulan ini "terlalu singkat dan ringan." Ba`asyir alias Abdus Somad (68), pimpinan Pondok Pesantren Ngruki, Solo, (Jawa Tengah) yang dituduh sebagai pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia, divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus bom Bali yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia. Vonis 30 bulan penjara itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa, yakni delapan tahun penjara. (*)

Copyright © ANTARA 2006