Dalam JJF 2013 ini, mencintai Indonesia bukan sekedar kenangan, tetapi kenangan yang harus selalu dihidup-hidupkan agar tampak bugar di taman hati setiap orang Indonesia
Jakarta (ANTARA News) - Aneka kisruh bak sumur tanpa dasar di negeri ini yang gegap gempita dari perilaku tipu sana tipu sini melucuti satu per satu kenangan kejayaan dan kedamaian Nusantara dalam gumpal tembang rayuan pulau kelapa.

Si X mengorupsi uang negara, si Y menilep fulus rakyat, partai ngak ngik ngok gunjang-ganjing, adu keras bacot seraya menunjukkan tonjolan otot-otot agar tampak macho di organisasi sepak bola nasional, bla...bla...semua itu menciptakan "teater dalam kepala" bahwa negeri ini sedang melewati kemarau cinta.

Ungkapan bergelora "mencintai Indonesia adalah segalanya" bagaikan berteriak-teriak di tengah padang gurun. Ramai-ramai "sang Indonesia" diadili sebagai pesakitan di pengadilan yang dihadiri oleh dua ratusan juta kawula Nusantara.

Awal Maret 2013, pijar mencintai Indonesia adalah segalanya dihidup-hidupkan dalam pagelaran hari pertama Jakarta International Java Jazz Festival 2013 (JJF), utamanya penampilan putra-putra Indonesia yang meminjam kosakata jazz untuk membaca Indonesia sebagai Indonesia dengan membuka halaman demi halaman buku tentang cinta.

Mencintai Indonesia adalah segalanya, begitu tajuk yang ngepas untuk melabel unjuk tampil dari Dwiki Dharmawan String Quartet Project, Maliq D'essentials, dan Indra Lesmana LLw di panggunga berbeda JJF yang dihelat pada 1-3 Maret 2013.

Meskipun masih mengandalkan deretan lagu-lagu lama, skuad MALIQ & D'Essentials mengusung kredo klasik bahwa masa kini tidak lagi dialami, semua hanyalah sekedar dilalui.

Dengan menyajikan lagu-lagu anyar mereka, seperti "Setapak Sriwedari", "Drama Romantika", dan "Beautiful Disaster", serta beberapa lagu lawas, antara lain "Dia", "Untitled", dan "Coba Katakan", grup band itu berperan bagaikan pendongeng dari mereka yang terluka di ibukota Jakarta.

Di panggung Hall A3 JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Angga (vokal), Indah (vokal), Ilman (keyboard dan piano), Lale (gitar), Jawa (bas), dan Widi (drum) berperan sebagai pendongeng yang membawa obat untuk menyembuhkan mereka yang tidak lagi mencintai Indonesia.

Lihat saja cara grup itu mengomunikasikan pijar cinta akan Indonesia. Intonasi Angga (vokal) dan Indah (vokal) ketika melafalkan larik-larik tembang yang mereka bawakan meninggalkan kesan "Ngindonesia" banget.

Sebagai pendongeng, mereka berusaha setia mengomunikasikan segala apa yang mereka lihat dan dengar di negeri ini. Meminjam istilah orang di bangku kuliah, mereka kontekstual, artinya tidak ingin tercerabut dari akar keindonesiaan.

"Setapak Sriwedari sebagai album kelima kami mengangkat kenangan akan nirwana. Ya nirwana, ketika seseorang menatap kekasihanya dengan penuh cinta, kemudian membelai rambutnya seraya mengucapkan, aku mengasihi kamu, maka itulah nirwana," kata Angga.

Bukan sekedar menyanyi untuk menyanyi, bukan sebatas mengajak publik JJF jingkrak-jingkrak kemudian mendapat aplaus riuh dari penonton, grup band itu melibas virus "pikiran yang sudah terkontrol".

Berita-berita soal korupsi seputar negeri yang serba terkoyak oleh ulah para kucing garong dari hari ke hari dapat mengubah kompas hati masyarakat, dari hati yang bening berubah menjadi pikiran yang berduka atau masa depan suram (madesu).

Untuk mencintai Indonesia perlu setia dalam suka dan duka. Dan grup band ini bersetia dengan segala apa yang telah mereka alami dan mereka lewati. Membawakan tembang lawas bukan berarti tampil tanpa energi pembebasan yang nota bene menjadi kredo dari jazz.

"Eksklusivitasnya masih kami pertahankan. Yang berubah dari segi tone warna. Kami pengin lebih eksplor dari corak dan warna," kata Angga juga.

Olah vokal dan lenggak-lenggok gemulai Indah di setiap tembang bukan sekedar berfungsi sebagai catatak kaki dari teks berjudul mencintai Indonesia adalah segalanya.

Ia tahu betul kapan berolah tubuh agar ngepas dengan jiwa setiap lagu. Ia  membagi gemuruh hati dari seorang perempuan untuk berbela rasa dengan mengajak penonton mengangkat tangan kemudian menggerak-gerakkan ke kanan dan ke kiri.

Tak kalah Indonesia banget, Dwiki Dharmawan String Quartet Project, membawakan sejumlah aransemen berlanggam tradisi Indonesia dengan balutan jazz. Simsalabim...jadilah Indonesia folk collection.

Dwiki Dharmawan/Piano, Indrawan Tjhin/Ac Bass, Dimawan/Violin Cello, Adi Nugroho/Viola, Fafan Isfandiar/Violin and Eko Balung/Violin mengajak pecinta jazz Nusantara untuk menikmati sejumlah aransemen apik bertajuk "Cik Cik Periuk" (West Borneo), "Paris Barantai" (South Borneo), Janger (Bali).

Dwiki Dharmawan kemudian mengajak Menteri Perdagangan Gita Wirjawan untuk unjuk kebolehan ngejazz. Dengan bermain piano, penampilan menteri lulusan Universitas Harvard itu mengukuhkan argumentasi bahwa jazz mampu mengobati mereka yang terluka karena di sana ada kebebasan berekspresi. Krisis demi krisis ketika mencintai Indonesia tidak boleh melunturkan asa.

"Kalau begini caranya, bagaimana kalau dia (Gita Wirjawan) jadi musisi, dan saya jadi menteri," kata Dwiki dengan nada berseloroh setelah menyaksikan penampilan menteri perdagangan itu.

Kiprah Dwiki boleh dibilang sudah mendunia. Ia mewujudkan cinta akan Indonesia dengan meminjam artikulasi jazz di berbagai perhelatan jazz internasional, antara lain Montreaux Jazz Festival, North Sea Jazz Festival, Umbria Jazz Festival di Italia dan di Vienna (Jazz Fest Wien).

Di Semeru Hall malam itu, Dwiki bersama Gita merayakan sebuah istilah yang dikenal di taman hati dunia filosofis, sebuah kenangan yang hadir yang selalu harus disadari (memoire volontaire).

Dalam JJF 2013 ini, mencintai Indonesia bukan sekedar kenangan, tetapi kenangan yang harus selalu dihidup-hidupkan agar tampak bugar di taman hati setiap orang Indonesia.

Tidak ingin dininabobokan oleh kenangan masa lampau, penampilan penabuh drum dari grup Indra Lesmana LLW, bernama Muhammad Ibnu Rafi membuat penonton menuangkan harapan bahwa talentanya demikian berlebih untuk mengusung predikat sebagai penerima tongkat estafet dari upaya regenerasi drummer tanah air.

Ketiga grup band asal Indonesia yang tampil di ajang JJF 2013 itu sama-sama hendak bernyanyi di katedral bernama Indonesia adalah cinta, dan cinta adalah Indonesia.

Mereka sama-sama tidak ingin bahwa Indonesia yang sekarang terus disesaki oleh berbagai warta korupsi sana korupsi sini, hanya tinggal kenangan.

Ketiganya ingin mendongeng bahwa mereka yang berdesakan di JJF 2013 masih memegang asa harapan, bahwa mencintai Indonesia adalah menghidupkan gairah untuk bertemu dan benyanyi bersama dalam tembang Indonesia rayuan pulau kelapa. Asa akan Nusantara!
(A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2013