Sidoarjo (ANTARA News) - Anggota Komisi VII DPR RI Khofifah Indar Parawansa berpendapat, Lapindo Brantas Inc, sebagai penanggungjawab kegiatan ekplorasi di sumur Banjarpanji 1, Sidoarjo, sangat lamban menangani kebocoran dan luapan lumpur panas sehingga sudah "menenggelamkan" tiga desa di Kecamatan Porong. "Akibat kelambanan itu, sekarang muncul masalah baru di lapangan, yaitu memicu munculnya konflik antar warga," kata Khofifah saat mengunjungi lokasi penggungsian korban luapan lumpur panas Lapindo Brantas bersama komisi VII lainnya. Ia menuding dalam kasus luapan lumpur panas yang selama ini meresahkan warga Porong, Pemerintah Pusat jangan lepas tangan. Lebih penting lagi, Lapindo harus jujur memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat. "Bagaimana masalah bisa selesai. Kalau Lapindo sebagai play maker` di lapangan, ternyata tidak jujur memberikan penjelasan mengenai apa yang sebenarnya terjadi kepada masyarakat," ujarnya. Bahkan, Khofifah meminta kepada BP Migas dan pihak Lapindo Brantas untuk mendirikan call canter (pusat informasi) dan melakukan dampak sosial kepada masyarakat. "Sejauh ini, mereka belum tahu kerugian apa yang mereka derita. Ini harus ada tim untuk mendata kerugian dari warga. Semuanya harus Lapindo tanggungjawab. Kerugian warga cukup besar," paparnya. Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Agusman Effendi di tempat yang sama menyatakan, Pemerintah Pusat seharusnya sudah membentuk tim investigasi yang independen. Tim ini nantinya akan memberikan penilaian terhadap kondisi di lapangan, sehingga masalah yang muncul cepat diatasi. Bahkan, tim ini juga dibagi untuk penangganan masalah keselamatan jiwa warga sekitar lokasi pengeboran. Ia juga meminta, agar pemerintah pusat segera turun ke lapangan, sehingga mereka tahu persis, persoalan di lapangan. "Pemerintah pusat harus cepat turun ke lapangan. Bagaimana bisa selesai. Kalau yang dipusat belum turun. Paling tidak tim investigasi independent cepat melakukan tugasnya dan memberikan hasil kongkrit," tambah Agusman.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006