Jakarta (ANTARA) - Ketua dan pendiri Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal mengatakan bahwa iklim bukan hanya sumber masalah tetapi juga sumber peluang untuk bangsa-bangsa.

Ketua FPCI tersebut juga mengatakan bahwa bangsa yang beruntung adalah bangsa yang sejak awal menyadari dan menyiasati peluang emisi nol bersih (net zero emission/NZE) dalam isu iklim.

“Percayalah, dalam 10, 40, 50 tahun ke depan, bangsa yang paling untung adalah bangsa yang dari awal bilang ‘ini ke arah net zero’. Kita mau ambil peluang di sini, electric vehicle, di solar, di turbin angin,” kata Dino Patti Djalal dalam acara Indonesia Net-Zero Summit 2023 di Jakarta, Sabtu.

Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2023 adalah konferensi iklim tahunan yang diadakan oleh FPCI sebagai ruang pertemuan bersama bagi menteri, pejabat, diplomat, aktivis, musisi, selebriti, pemuda, masyarakat sipil dan kalangan lainnya untuk membicarakan isu iklim khususnya di Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, ketua FPCI Dino Patti Djalal menyampaikan bahwa perubahan iklim merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh manusia.

“Perubahan iklim adalah masalah terbesar yang dihadapi oleh umat manusia sepanjang sejarah. Jadi jangan dikotak-kotakkan. Itulah urgensi dari masalah perubahan iklim,” kata Dino.

Dino menyampaikan bahwa beberapa kenyataan pahit yang harus dipahami agar masyarakat Indonesia mengerti posisi dan situasi mengenai masalah perubahan iklim.

Beberapa di antaranya adalah umat manusia berpacu dengan waktu, tetapi bangsa-bangsa di dunia bergerak terlalu lamban untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global 1,5 derajat Celsius.

Perjanjian Paris menargetkan kenaikan temperatur rata-rata global hingga setidaknya 1,5 derajat Celcius, namun kebijakan negara-negara dunia masih diproyeksikan akan menaikkan suhu bumi sekitar 3,2 derajat Celsius.

Dino menyebutkan bahwa untuk mencapai target tersebut, semua usaha yang berhubungan isu iklim harus bergerak lebih cepat, seperti transisi ke kendaraan listrik dipercepat 22 kali lipat dan penggunaan energi rendah karbon dipercepat delapan kali lipat.

Selain itu, ujar mantan duta besar AS tersebut, penghentian penggunaan batu bara dipercepat lima kali lipat, reforestasi dipercepat lima kali lipat, penggunaan energi terbarukan juga harus dipercepat tiga kali lipat, serta percepatan pembersihan listrik 1,5 kali lipat.

Kenyataan yang lain adalah perubahan iklim adalah agenda urgen untuk seluruh bangsa-bangsa dunia, lanjut dia.

“Kita juga harus tahu bahwa ini telah menjadi suatu agenda di mana solusinya harus semuanya ikut berpartisipasi. Tidak bisa hanya negara Barat saja, negara Timur, atau Utara dan Selatan, tapi semua bangsa harus berkoordinasi dan bekerja sama,” kata Dino.

Pendiri FPCI tersebut juga mengatakan bahwa faktor perubahan iklim belum menjadi risiko yang dihitung dalam visi Indonesia Emas 2045 adalah realitas pahit yang lainnya.

“Tidak mungkin kita melihat suatu visi tanpa adanya suatu analisa risiko. Di sini risiko terbesar yang menurut saya perlu kita lebih cermat dalam menghitungnya. Dan kita baru sadar mungkin dalam dua atau tiga tahun terakhir ini adalah risiko perubahan iklim,” ujar Dino.

Realitas pahit yang terakhir adalah prospek kebijakan iklim Indonesia masih labil karena angin politik ke depan belum terjamin, komitmen birokrasi yang belum merata, pemerintah daerah yang belum sepenuhnya berkomitmen, usaha swasta belum sepenuhnya terlibat, dan perhatian publik yang belum optimal, kata dia.

Baca juga: Pengamat: emisi global harus dipotong 50% untuk capai NZE
Baca juga: Luhut ajak semua pihak lakukan aksi nyata wujudkan dekarbonisasi
Baca juga: KLHK canangkan kehutanan jadi penyeimbang emisi karbon sektor energi


Pewarta: Cindy Frishanti Octavia
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023