Jakarta (ANTARA) - Denmark dikenal sebagai salah satu negara yang memimpin dalam perjuangan melawan perubahan iklim.

Salah satu indikatornya adalah pencatuman target pengurangan emisi dalam Undang-undang (UU) Iklim Tahun 2020 atau Climate Act negara tersebut.

Target yang ingin dicapai Denmark adalah penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 50-54 persen dibanding emisi pada 1990 dan penurunan 70 persen pada 2030 dibanding periode 1990, serta mencapai karbon netral (nol emisi) pada 2050.

Di antara periode target-target tersebut juga dibuat target jangka menengah, yaitu untuk 2035, 2040 dan 2045 yang ditetapkan 10 tahun sebelumnya. Dalam praktiknya, target diimplementasikan oleh pemerintah, diawasi oleh parlemen dan dinilai oleh publik.

Penilaian target maupun implementasi target dilakukan oleh Dewan Iklim Denmark (Danish Climate Council) yang terdiri dari 9 orang akademisi di bidang energi terbarukan, transportasi, sosial, statistik, energi efisiensi, pertanian, biologi, hingga ekonomi. Mereka dipilih secara independen setiap 4 tahun sekali.

Ketua Dewan Iklim Denmark saat ini adalah Peter Møllgaard, dekan di Fakultas Bisnis dan Sosial Universitas Southern Denmark yang berpengalaman untuk mengintegrasikan energi terbarukan dengan sistem pembangkit listrik.


Peran akademisi

Head of International Action on Climate Change Dewan Iklim Denmark Ulla Blatt Bendtsen dalam penjelasannya mengatakan Denmark belajar dari pemilu 2019 yang disebut sebagai the first election climate karena publik menyoroti soal komitmen para politisi di bidang iklim.

"Hal itu diawali saat Denmark mengalami musim panas yang sangat kering pada 2018, sehingga publik pun makin menaruh perhatian atas perubahan iklim," kata Ulla di Kopenhagen, Denmark pada 12 Juni 2023 kepada para jurnalis dalam program "Indonesian Climate Journalist Network" (ICJN) yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Kedutaan Besar Denmark.

Setelah Partai Sosial Demokrat Denmark memenangi Pemilu 2019 dan tampuk kepemimpinan eksekutif ada di tangan Perdana Menteri Mette Frederiksen, maka pemerintah pun membuat target-target ambisius untuk mengurangi emisi GRK.

"Dewan Iklim Denmark ikut mereview target pemerintah jangka menengah dan jangka pendek. Kami juga ikut mereview capaian riil pemerintah dari target yang sudah ditetapkan. Hasil review itu disampaikan kepada parlemen dan parlemen menyampaikan masukan kepada pemerintah, jadi kami setidaknya membuat tiga laporan dalam setahun untuk menilai apakah program pemerintah soal iklim sudah on track atau belum," ungkap Ulla.
Head of International Action on Climate Change Dewan Iklim Denmark Ulla Blatt Bendtsen (kiri) dan Press and Communication Dewan Iklim Denmark Jacob Haaning Andersen (kanan) berbicara kepada peserta Indonesian Climate Journalist Network (ICJN) di Kopenhagen, Denmark pada Senin (12/6/2023) (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Kekuatan sistem saat ini, menurut Ulla, adalah memasukkan target kepada undang-undang, sehingga pemerintah "dipaksa" untuk mengerjakan target karena bila tidak dikerjakan, artinya pemerintah melanggar undang-undang.

"Terlebih target jangka pendek sangat menekan pemerintah sehingga mereka bekerja dengan benar," ujar Ulla.

Dewan Iklim Denmark pun memiliki tiga fungsi. Pertama, sebagai watchdog, yaitu untuk mengurangi risiko penyimpangan tindakan pemerintah. Kedua, sebagai penasihat, yaitu untuk memberikan masukan objektif dari sudut pandang para pakar dan ketiga, sebagai public debator, yaitu mendorong partisipasi publik dalam kebijakan iklim.

Ulla mengakui bila pemerintah tidak melaksanakan target yang ditetapkan tidak ada risiko para pejabatnya akan masuk penjara, apalagi Dewan Iklim tidak memiliki kewenangan pelaksanaan kebijakan.

"Tapi di era demokrasi, para pemilih, yaitu publik yang merasa isu iklim penting dan menyangkut kehidupan kesehariannya akan menilai apakah para politisi benar-benar melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah iklim atau tidak, sehingga layak dipilih lagi atau tidak," kata Ulla.

Untuk menjaga independensi dewan, fungsi Press and Communication Dewan Iklim Denmark Jacob Haaning Andersen mengatakan, Dewan Iklim tidak memiliki "dewan pengawas".

"Tidak ada yang mengawasi Dewan Iklim, tapi tentu kami tetap independen, meski menerima pembiayaan dari pemerintah. Karena itulah lembaga independen disebut 'independen', dapat independen, meski tanpa ada badan pengawas," kata Jocob.

Independensi itu juga yang membuat Dewan Iklim Denmark mendapatkan perhatian dari media massa dan selanjutnya mendapatkan kepercayaan publik.

"Saya pikir salah satu kunci dari kepercayaan publik kepada kami adalah karena kami menjaga keseimbangan antara pemerintah, kelompok bisnis dan aktivis lingkungan. Kadang lembaga independen seperti kami dianggap sebagai 'aktivis', tapi Dewan berusaha maksimal agar hal itu tidak terjadi, sehingga kami memberikan penilaian secara objektif berdasarkan data dan kepakaran," ucap Jacob.

Karena hanya memberikan penilaian berdasarkan data yang lengkap tersebut, maka Jacob mengakui anggota Dewan Iklim juga tidak sembarangan berbicara ke media mengenai berbagai isu.

"Kami merespons lebih lambat kepada media saat ditanya. Alasannya adalah kami tidak bicara tanpa ada analisis lebih dulu," ujar Jacob.

Namun untuk menampung sebanyak mungkin masukan, Dewan Iklim Denmark memiliki "Climate Dialogue Forum" dimana sekitar 40 organisasi dari berbagai bidang dapat memberikan masukan dan kritik soal kebijakan iklim di Denmark. Organisasi tersebut, termasuk dari industri maupun NGO, dan juga pemerintah daerah setingkat kotamadya.

Pun tidak semua masukan dari Dewan Iklim dilaksanakan pemerintah karena pemerintah masih juga memberikan perlakuan spesial kepada jenis industri tertentu.

"Misalnya dulu pemerintah menetapkan pajak tinggi kepada perusahaan semen Aalborg Portland karena kadar emisi yang dihasilkan, namun tindakan berbeda dilakukan terhadap perusahaan di bidang agrikultur karena hampir setengah lahan di Denmark digunakan untuk pertanian, dan diperkirakan 50 persen emisi gas rumah kaca Denmark pada 2030 berasal dari sektor pertanian," ungkap Jacob.


Peran swasta

Ulla mengakui bahwa Pemerintah Denmark berusaha mencari titik keseimbangan antara pengurangan emisi dan menjaga pertumbuhan ekonomi, dan untuk menemukan titik keseimbangan itu butuh strategi khusus.

Faktanya, sejak 1990 hingga 2021, Denmark secara konsisten melakukan kerja-kerja pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) hingga 43 persen, mengurangi konsumsi air hingga 39 persen, mengurangi konsumsi energi 11 persen, namun meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 62 persen.

"Pada prinsipnya, Anda masih bisa menghasilkan uang dan pada saat yang sama mengurangi emisi karbon. Inilah kesepakatan bersama di Denmark, sehingga kebijakan iklim sama sekali tidak menghambat pertumbuhan ekonomi," kata Head of Press Relations State of Green Magnus Hojberg Mernild di Kopenhagen, Denmark pada 13 Juni 2023.

"State of Green" adalah organisasi non-profit yang mengelola kemitraan pemerintah dan swasta (public-private partnership atau PPP) antara Pemerintah Denmark dan tiga asosiasi utama bisnis di Denmark, yaitu Confederation of Danish Industry, Green Power Denmark, and the Danish Agriculture and Food Council.

State of Green menjadi "one-stop-shop" untuk lebih dari 600 pelaku usaha, agen, institusi akademis, dan peneliti untuk melakukan bisnis yang berkelanjutan, rendah karbon dan efisien dalam sumber daya. Putra Mahkota Kerajaan Denmark, Frederik, menjadi patron di State of Green.
Head of Press Relations State of Green Magnus Hojberg Mernild berbicara kepada peserta Indonesian Climate Journalist Network (ICJN) di Kopenhagen, Denmark pada Selasa (13/6/2023) (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

State of Green bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan Denmark yang bergerak di bidang energi hijau, seperti Ørsted, Vestas, Grundfos, Danfoss, Ramboll, Velux, CIP, CO-industri, PensionDenmark, BWSC, 3F, and Rockwool, sehingga setidaknya membuka 75 ribu lapangan kerja hijau.

"Bila kalian (peserta ICJN), datang ke Kopenhagen tahun 1990, kalian akan menemukan kota yang berpolusi, kotor, suram, termasuk kanal-kanalnya. Tapi warga Kopenhagen sepakat untuk menciptakan kota yang livable, sehingga warga bisa hidup nyaman," ucap Magnus.

Perubahan tersebut dilakukan mulai tahun 2000-an, termasuk dengan menggandeng para pengusaha, karena pernyataan politis tanpa dukungan pebinis tidak akan ada hasilnya.

"Bagaimana kami memastikan tetap ada lapangan pekerjaan, meski industri bergeser ke sektor hijau. Bagaimana memastikan seorang mekanik yang tadinya memperbaiki mesin diesel jadi bekerja untuk mesin dengan energi terbarukan. Hal ini tentu butuh visi jangka panjang, termasuk kerja sama dengan sekolah-sekolah vokasi dan lembaga pembiayaan," kata Magnus.

Awalnya, menurut Magnus, memang ada penolakan untuk mendirikan kincir angin di dekat rumah penduduk dengan alasan not in my backyard (NIMB). Padahal dengan sekitar 7.300 kilometer garis pesisir dan dikeliling laut dangkal, Denmark sangat cocok untuk memproduksi listrik dari energi tenaga angin.

Pemerintah lalu membuat kebijakan agar warga mendapat kompensasi pendirian turbin kincir angin. Bila rumah warga nilainya berkurang setelah turbin angin setinggi 150 meter berdiri, maka operator turbin harus mengompensasi kerugian tersebut. Kemudian warga juga harus ditawarkan 20 persen saham proyek, sehingga memberi warga kepemilikan.

Tentunya warga mendapat alokasi langsung per megawatt listrik yang dihasilkan. Pemerintah juga telah memperhitungkan keberatan warga atas kabel listrik, dengan memakai kabel bawah tanah, yang meski mahal, namun warga tidak mungkin dipaksa menerima tiang-tiang listrik baru dan turbin angin yang menjulang.

Sebagai welfare state, Denmark juga menetapkan pajak yang tinggi kepada warganya berdasarkan jumlah penghasilan. Pajak tersebut mencapai 35-60 persen dari penghasilan.

"Sistem pajak yang dapat mencapai 50 persen pendapatan di Denmark dapat mencegah adanya 'oligarki' pengusaha yang menolak kebijakan ramah lingkungan, apalagi banyak perusahaan dibangun berdasarkan nilai-nilai keluarga. Nilai-nilai tersebut, termasuk mendorong transisi energi terus dikerjakan, sehingga investor di perusahaan itu tidak hanya berpikir soal keuntungan semata, tapi bagaimana membuka akses untuk energi terbarukan, bahkan ke luar Denmark. Jadi perusahaan bekerja berdasarkan misi tersebut," ucap Magnus.

Magnus mengakui tidak semua warga Denmark juga mendukung kebijakan transisi energi, tapi yang terpenting adalah membawa semua pihak ikut berpartisipasi.

"Kami mencoba untuk bring everyone to the table, karena ada kesempatan untuk menghasilkan uang dari kesempatan yang tersembunyi dari transisi energi tersebut, termasuk juga untuk perusahaan Denmark di dalam negeri yang sudah matang, namun ingin mencari kesempatan lebih besar di tingkat global. Kami tidak punya silver bullet untuk melakukan transisi energi, kami hanya melakukan apa yang bisa kami kerjakan," kata Magnus.

Seperti ucapan petinju legendaris, "If your dreams don't scare you, they aren't big enough", Denmark sudah menetapkan visi yang tinggi untuk transisi energi, saatnya Indonesia juga bermimpi besar.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023