Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kembali mengadakan International Conference of Islamic Scholar (ICIS) kedua yang bertujuan untuk menjembatani Islam dengan Barat. "Sebagai wadah para ulama, NU ingin menjembatani Islam dengan Barat dengan mengadakan ICIS," kata Ketua PBNU Hasyim Muzadi dalam pertemuan dengan sejumlah Pemimpin Redaksi media massa di Jakarta, Kamis malam. Menurut Hasyim, untuk kepentingan menjembatani itu ia mengundang tokoh-tokoh penting yang menyangkut kedua pihak tersebut. Ada 57 negara yang akan mengirimkan wakil-wakilnya. Di antara tokoh-tokoh penting yang akan hadir itu terdapat Pangeran Ghazi bin Muhammad dari Kerajaan Yordania mewakili Raja Abdullah, Sekjen Uni Eropa Javier Solana, Paus Benedictus XVI yang diwakili Mgr Khalid Abaseh dan PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi selaku Ketua Organisasi Konprensi Islam (OKI). Menurut Hasyim, dalam acara yang direncanakan berlangsung 20-22 Juni mendatang itu, ia sengaja tidak mengundang perwakilan Amerika Serikat, sebagai gantinya ia memilih Eropa untuk perwakilan pihak Barat. "Kenapa kita pilih Eropa daripada Amerika, karena saat ini Amerika Serikat masih berpolemik dengan negara Islam," katanya. Hasyim mengatakan, sebagai kelanjutan dari ICIS pertama, ICIS kedua tidak lagi membahas tatanan konsep, melainkan sudah dalam tahap langkah strategis dan aksi. "Salah satunya adalah meredakan ketegangan dalam tubuh umat Islam sendiri, seperti konflik di Irak dan Pakistan, yang menyangkut Sunni dan Syi`ah," katanya. Hasyim mengatakan, International Conference of Islamic Scholar (ICIS) di Jakarta 20-22 Juni 2006 itu akan dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada ICIS yang pertama bulan Februari tahun lalu menghasilkan Deklarasi Jakarta, katanya. Selain ICIS, menurut Hasyim, NU juga akan menyelenggarakan beberapa kegiatan lainnya. Akhir Juni NU mengadakan sarasehan pra musyawarah nasional (munas), dan akhir Juli akan dilangsungkan munas alim ulama NU seluruh Indonesia. "Dalam pra munas, akan dibahas bagaimana mempertahankan NKRI, Pancasila dan Undang-undang Dasar," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006