Jakarta (ANTARA News) - Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati menyatakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan opsi terakhir dari pemerintah bila skenario pengendalian kuota tidak bisa dilakukan.

"Memang tidak menutup kemungkinan pemerintah bisa menaikkan harga BBM. Tapi opsi kenaikan BBM itu, bila skenario sebelumnya tidak bisa dilakukan. Ini akan jadi opsi terakhir, tentunya juga akan dibicarakan dulu dengan pemerintah," kata Anny di Gedung Kementerian Keuangan Jakarta, Kamis.

Menurut dia, hingga saat ini, pemerintah akan tetap berupaya mengendalikan harga BBM dan terus berdiskusi dengan Kementerian ESDM untuk bisa mengendalikan, menghemat serta melakukan konversi dari BBM ke BBG.

"Pemerintah tetap berharap bahwa rencana Kementerian ESDM untuk pengendalian volume itu tetap dilaksanakan," ujar Anny.

Ia menjelaskan, kelebihan kuota BBM bersubsidi jika ditambah dengan kenaikan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) yang terlalu jauh dari asumsi awal, akan memberikan tekanan yang besar pada APBN 2013, khususnya pos subsidi.

"Kondisi makro saat ini sudah menunjukkan tren kenaikan. Misalnya kurs rupiah dengan dollar AS yang sudah menembus level Rp9.700, lifting minyak tidak sesuai asumsi dan harga minyak mentah sudah di atas 100 dollar per barel," kata dia.

Menurut dia, pemerintah juga akan terus memonitor defisit anggaran termasuk defisit neraca perdagangan yang memang sebagian besar dari impor BBM. Defisit yang telah diteken dan disahkan dalam APBN 2013 tersebut akan tetap dijaga di level yang aman, yaitu tiga persen dari APBN.

"Tapi sampai hari ini, monitoring terhadap perubahan kemungkinan perubahan terhadap asumsi, dampaknya, terus kita lihat. Mudah-mudahan kita bisa jaga, kan dolar AS memang bergerak terus, Rupiah kadang Rp 9600-9700 per dollar AS," ujar dia.

Ia menegaskan pemerintah terus memantau pergerakan semua indikator ekonomi yang dapat menekan fiskal pemerintah pada tahun ini. Kondisi itu penting agar dampaknya tidak akan terjadi secara berkepanjangan.

"Satu kekhawatiran kami dari sisi pelampauan kuota. Kedua, dari sisi harga ICP-nya. Ketiga, dari lifting-nya," katanya.

Hingga saat ini, lanjutnya, semua indikator itu dilihat dari sisi penerimaan dan belanja pemerintah masih dalam batas yang terkendali. Namun, pemerintah tetap waspada dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi di tengah situasi global yang masih tidak kondusif seperti saat ini.

"Jika semua skenario itu tak berhasil dan berdampak pada beban subsidi yang terlalu besar, pemerintah akan terpaksa menaikkan harga BBM bersubsidi sebagai opsi terakhir," kata dia.

Sebelumnya, Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) ikut menyumbang defisit neraca perdagangan yang hingga November 2012 tercatat sebesar 1,33 miliar dolar AS.

"Walaupun impor BBM hanya sekitar 25 persen tetapi ikut berkontribusi terhadap neraca perdagangan (trade balance) kita," ujarnya di Jakarta, Jumat.

Bambang menjelaskan impor tersebut meningkat pesat karena konsumsi BBM bersubsidi telah melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah dan kondisi ini dari segi fiskal dirasakan tidak sehat.

"Ini harus menjadi perhatian semua pihak bahwa kita ingin menghemat, karena dengan kita boros memakai BBM, ujungnya kita harus impor," katanya.

(ANTARA)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013