Jakarta (ANTARA News) - Direktur Global Humanity Response organisasi kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Doddy Cleveland HP mengatakan beragam fakta memilukan disaksikannya saat melakukan peninjauan tenda pengungsian warga Suriah di perbatasan Jordania, Januari 2013 silam.

Doddy yang kala itu datang ke Suriah untuk menyerahkan bantuan sekaligus melakukan peninjauan terhadap kebutuhan warga Suriah yang mengungsi di perbatasan Jordania menyaksikan banyaknya anak-anak dan perempuan yang menjadi korban perang.

"Saya menyaksikan ada seorang anak balita yang tidak berhenti menangis, karena tubuhnya terkena luka bakar serius. Bisa dibayangkan bagaimana rasa perih yang harus ditahan anak balita tersebut," kata Doddy seraya menampilkan foto-foto rekaman pengungsi di Suriah, di sela-sela acara Pelepasan Relawan Medis Indonesia ke Suriah, di Jakarta, Jumat.

Rencananya pada Sabtu (16/2), Doddy akan kembali ke Suriah, untuk memberikan bantuan. Berbeda dengan aksi kemanusiaan ACT sebelumnya yang hanya memberikan bantuan logistik dan obat-obatan, pada kepergiaannya kali ini Doddy akan didampingi oleh empat orang relawan medis Indonesia.

Doddy menjelaskan kondisi tenda pengungsian Zaatari di utara perbatasan Jordania merupakan tempat pengungsian terbesar, dengan dipenuhi ratusan ribu pengungsi. Mereka tinggal secara berhimpit-himpitan.

Menurut Doddy beberapa organisasi kemanusiaan non-pemerintah di Suriah telah mendirikan klinik-klinik darurat, termasuk klinik mobil, untuk memberikan pertolongan medis, namun jumlah pengungsi yang sakit atau terluka akibat ledakan jumlahnya sangat banyak setiap harinya.

"Seorang anak wanita saya lihat duduk di kursi roda, dan dia kehilangan orang tuanya. Selain luka fisik, dia mengalami luka di jiwa, tatapannya kosong. Ada juga seorang anak lelaki yang alat vitalnya terluka karena terkena ledakan," ujar Doddy.

Sementara itu menurut Doddy, tidak sedikit anak-anak dan warga Suriah yang selamat di tenda pengungsian harus berjualan seadanya untuk menghidupi diri sehari-hari. Saat waktu makan tiba para pengungsi harus antre di sebuah tenda logistik untuk mendapatkan bahan makanan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Doddy, selain di perbatasan Jordania, banyak juga warga Suriah yang harus mengungsi ke negara tetangganya seperti Turki.

"Saya juga membaca berita terbaru bahwa Rusia telah menghibahkan peluru kendali ke Suriah. Ini menandakan tragedi kemanusiaan di sana belum akan berakhir dalam waktu dekat," kata dia.

Dia berharap seluruh pihak, khususnya pemerintah Indonesia dapat memberikan bantuan kepada warga Suriah untuk mengurangi penderitaan para pengungsi.

"Mari kita kembalikan senyum warga Suriah bersama-sama," kata Doddy.

Presiden ACT Ahyudin mengatakan langkah pihaknya mengirimkan relawan medis ke Suriah murni dilandasi misi kemanusiaan.

"Kita `nafikkan` itu yang namanya politik, perang, Sunni, Syiah, Rusia atau Amerika Serikat. Misi kami mengirimkan relawan ke Suriah murni karena kemanusiaan, tidak ada yang lain," kata Ahyudin.

Ahyudin mengatakan ACT akan mengirimkan enam relawan ke Suriah untuk membantu para pengungsi di negara tersebut. Ke enam orang relawan yang akan berangkat antara lain Direktur Global Humanity Response ACT Doddy Cleveland HP, empat orang relawan medis yakni dr. Fakhrur Razi, dr. Lukman Hakim, dr. Aris Ramdhani, dan seorang perawat Metty Yuniarti, serta satu orang jurnalis Kompas TV Irwansyah Lubis.

Ahyudin mengatakan berdasarkan informasi yang dihimpun ACT, saat ini terdapat lebih dari 78.000 korban tewas di Suriah, mayoritas diantaranya merupakan anak-anak dan perempuan.

Dia mengatakan bahwa ACT selalu membawa nama Indonesia dalam memberikan bantuan di seluruh penjuru dunia. Sehingga dia mengharapkan pemerintah Indonesia bisa turut serta memberikan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi Suriah.

"Walaupun bantuan kami di sana mungkin tidak seberapa, namun kami ikhlas bekerja dengan hati memberikan bantuan semampu kami," kata Ahyudin.

Sampai saat ini konflik di Suriah dikabarkan masih berlangsung. Konflik tersebut dimulai pada Maret 2011 dengan demonstrasi damai melawan Presiden Suriah Bashar al-Assad yang sudah berkuasa selama empat dekade.

Demonstrasi itu berubah menjadi revolusi berdarah setelah pemerintah melakukan tindakan represi terhadap demonstran. Kedua kelompok dituduh melakukan kekejaman dalam konflik yang sudah

berlangsung selama lebih dari 21 bulan itu, namun PBB mengatakan bahwa pihak pemerintah dan sekutunya lebih bersalah.

Perang saudara di Suriah disebut-sebut merupakan konflik terpanjang dan paling mematikan dalam gerakan masyarakat sipil yang mulai meluas di dunia Arab tahun 2011. Konflik itu juga memicu perpecahan sektarian.

Sebagian besar anggota gerilyawan di satu sisi berasal dari mayoritas Muslim Sunni, sementara Assad dan pasukannya didominasi oleh sekte Alawit, yang merupakan pecahan dari Islam Syiah, merupakan minoritas di Suriah. Data PBB menyatakan, sejak awal 2011hingga saat ini, konflik Suriah ditengarai telah merenggut 78.000 korban jiwa.
(ANT)

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013