Kami mengajak pers mencari solusi bagi masalah bangsa.
Samarinda (ANTARA News) - Pada 9 Februari 1946 di Gedung Museum Pers Solo (sekarang), sejumlah tokoh pers Indonesia ketika itu mengadakan pertemuan untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Tanggal itu memang diakui memiliki nilai historis bagi komunitas pers di Tanah Air, karena pada hari itulah akhirnya terbentuk PWI sebagai organisasi wartawan pertama setelah kemerdekaan Indonesia dan menetapkan Sumanang sebagai ketuanya.

Namun, penetapan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional (HPN) melalui proses yang cukup panjang.

Gagasan penetapan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional muncul pada Kongres Ke-16 PWI di Padang, Desember 1978, saat PWI Pusat masih dipimpin Harmoko.

Salah satu keputusan Kongres PWI saat itu adalah mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan tanggal 9 Februari sebagai HPN. Usulan tersebut tidak langsung disetujui.

Nampaknya sosok Harmoko yang sejak 1983 menjadi Menteri Penerangan tidak bisa dinafikan dari "perjuangan" menggolkan usulan tersebut.

Setelah menunggu sekitar tujuh tahun, melalui Surat Keputusan Presiden No.5/1985, maka hari lahir PWI tanggal 9 Februari itu resmi menjadi Hari Pers Nasional.

Di kemudian hari, penetapan Hari Lahir PWI sebagai Hari Pers Nasional mengundang perdebatan, terlebih sejak era reformasi 1998 lahir sejumlah organisasi pers nasional yang tentu saja tidak terkait dengan PWI apalagi tanggal 9 Februari itu.

Bahkan, berdasarkan sejumlah catatan sejarah, ternyata PWI bukan organisasi wartawan pertama. Pada 1914 di Surakarta telah lahir Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang didirikan Mas Marco Kartodikromo, bersama Dr Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara, dan Sosro Kartono.

Selain IJB, organisasi wartawan lainnya yang lahir sebelum PWI adalah Sarekat Journalists Asia pada 1925, Perkumpulan Kaoem Journalists pada 1931, serta Persatoean Djurnalis Indonesia pada 1940.

Namun, sejarah juga mencatat bahwa semua organisasi wartawan tersebut tidak berumur panjang karena adanya tekanan dari pemerintahan kolonial Belanda ketika itu.

Terlepas dari perdebatan tanggal HPN --ditambah lagi adanya tanggal 3 Mei yang menjadi Hari Kebebasan Pers Dunia-- masalah itu tampaknya bukan persoalan mendesak yang harus diperselisihkan, mengingat tantangan ke depan di dunia pers lebih menarik untuk menjadi bahan kajian dan diskusi.

Tugas dunia pers Indonesia akan semakin berat dalam fungsinya sebagai mitra perjuangan kemerdekaan informasi yang mendidik rakyat. Munculnya sejumlah aksi kekerasan hingga pembunuhan terhadap insan pers yang sedang melakukan tugas jurnalistik, juga menjadi ancaman tersendiri bagi kehidupan kebebasan pers, tidak hanya di Tanah Air.

Sebut saja kasus pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafrudin yang meninggal karena penganiayaan oleh orang tak dikenal pada pertengahan Agustus 1996, hingga kini belum tuntas terungkap.

Peristiwa kekerasan terhadap awak media kembali terjadi pada 16 Oktober 2012, yang menimpa jurnalis TVOne, fotografer harian Riau Pos dan wartawan LKBN Antara Biro Riau, saat meliput jatuhnya pesawat milik TNI Angkatan Udara di Kampar, Riau. Ironisnya, penganiayaan itu dilakukan oknum anggota TNI AU.

Di Samarinda, pada 22 Oktober 2012, Muhammad Asri Sattar, kontributor ANTV menjadi korban kebrutalan sekelompok massa dalam kericuhan akibat betrokan segitiga antara mahasiswa, polisi, dan kelompok massa yang terjadi di Jl M Yamin.

Sayangnya, polisi yang berada di sekitar Asri kala dihujani pukulan, sama sekali tidak melakukan tindakan perlindungan, bahkan terkesan melakukan pembiaran.

Persoalan ancaman kekerasan hingga kini masih membayangi para wartawan meskipun pekerjaan jurnalistik mereka telah dilindungi undang-undang.

Sosialisasi dan pendekatan sudah semestinya terus dilakukan semua pihak, termasuk dari jajaran insan pers sendiri, kepada para pejabat pemerintah, pimpinan instansi maupun swasta, dalam upaya tetap menjaga keberlangsungan kebebasan pers di Tanah Air.

Bahkan, aparat keamanan dalam hal ini unsur TNI dan Polri juga mesti terus-menerus diberi pemahaman yang mendalam mengenai tugas dan tanggung jawab insan pers dalam penyebarluasan informasi kepada publik, karena tidak jarang tindak kekerasan terhadap wartawan itu justru dilakukan aparat keamanan.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring dalam sebuah kesempatan menyatakan dukungannya terhadap peningkatan perlindungan keamanan insan pers di lapangan.

Namun, pada saat yang sama, Tifatul juga meminta Dewan Pers dan PWI pusat untuk menjaga kebebasan pers yang berkarakter, dalam arti bermoral, jujur, bertanggung jawab, antikorupsi, peduli pada rakyat kecil, dan profesional.

"Dengan hal ini maka bisa meningkatkan kepercayaan pada pers dari masyarakat dan tidak mudah terkooptasi kekuatan politik dan kapital. Kami mengajak pers mencari solusi bagi masalah bangsa," katanya.

Ia juga mengatakan bahwa pemerintah tidak alergi dan antipati terhadap kritik, asalkan disampaikan secara etis dan sesuai etika jurnalistik.

Pers merupakan salah satu pilar demokrasi yang menjadi salah satu komponen penting dalam pembangunan bangsa. Oleh karena itu, harapan pemerintah yang disampaikan Menkominfo itu menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi kalangan pers nasional mengingat masih banyak media massa yang dikuasai oleh sejumlah elite untuk tujuan tertentu yang jauh dari instrumen demokrasi.

Masyarakat tentu berharap, pers dapat menjadi "jembatan" informasi yang menyajikan pemberitaan bermutu, berimbang, mendidik, dan mencerdaskan, di samping juga menjalankan fungsi kontrol sosial yang mendorong kemajuan bangsa.

Selamat Hari Pers Nasional 2013.

(A041)

Oleh Arief Mujayatno
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013