Surabaya (ANTARA News) - Pakar energi dari ITS Surabaya Prof Dr Ir Djatmiko Ichsani M. Eng menilai alih energi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) ke gas perlu intervensi dari pemerintah kerena posisi rakyat dalam masalah ini sangat lemah. "Masalahnya, modal awal alih energi itu mahal, tapi kalau sudah tersedia, rakyat akan bisa mengikutinya," kata ahli transfer energi dari Fakultas Teknik Industri (FTI) ITS itu di Surabaya, Jumat. Menurut guru besar yang dikukuhkan pada 10 Juni 2006 itu, intervensi pemerintah dalam alih energi sangat penting, karena tanpa adanya intervensi pemerintah akan menyebabkan alih energi takkan pernah terlaksana. "Orang yang biasa pakai minyak tanah untuk pindah ke gas itu paling tidak membutuhkan modal awal Rp500 ribu untuk membeli tabung gas, kompor gas, slang penghubung dari tabung ke kompor gas, dan peralatan teknis lainnya yang bagi rakyat miskin adalah mustahil," katanya. Selain itu, kata konsultan energi yang kelahiran Klaten (Jateng) pada 19 Oktober 1953 itu, intervensi pemerintah diperlukan, karena kemasan gas juga masih mahal yakni Rp75 ribu/kilogram, sehingga rakyat tidak bisa membeli gas secara eceran. "Untuk membudayakan gas, pemerintah perlu mengemas gas dalam berbagai ukuran yang memungkinkan rakyat untuk membelinya, seperti Rp5 ribu atau lebih kecil dari itu, karena Rp75 ribu itu mahal bagi rakyat miskin. Mungkin subsidi BBM juga perlu dialihkan," katanya. Intervensi pemerintah juga menjadi keharusan, kata ketua Laboratorium Perpindahan Panas di Jurusan Teknik Mesin FTI ITS Surabaya itu, karena alih energi kepada gas juga membutuhkan ketersediaan "SPBU" untuk gas dimana-mana dan perlunya pipa gas yang tergolong mahal itu. "Infrastruktur gas seperti SPBU dan pipa gas itu penting dan mahal, karena pasar gas umumnya ada di Jawa, sedangkan potensi gas justru ada di luar Jawa yang tentunya membutuhkan investasi dalam bentuk pipa gas yang amat mahal," katanya. Namun, katanya, jika semua infrastruktur dan subsidi dilakukan pemerintah, maka alih energi kepada gas akan menjadi murah dan rakyat pasti mengikutinya, karena rakyat akan merasakan bahwa gas itu memang lebih murah dibanding minyak tanah (BBM). "Karena mahalnya modal awal gas itu, maka intervensi pemerintah juga perlu dilakukan secara gradual (bertahap). Yang penting, kebijakan ke arah sana cukup sistematis, sebab BBM memang akan habis dalam 20 tahun, sedangkan gas masih 50 tahun dan batubara masih 100 tahun," katanya. Spesialis energi alumnus AIT Bangkok dan INPL Prancis itu menyatakan alih energi juga dapat diberlakukan pada kendaraan bermotor dari BBM kepada energi alternatif seperti dari bensin kepada minyak jarak juga perlu intervensi pemerintah. "Kalau pemerintah sudah mengeluarkan Keppres atau Inpres soal kewajiban pemanfaatan minyak jarak, saya kira hal itu belum cukup, karena harga minyak jarak juga masih mahal yakni Rp7.000 per-liter, sedangkan bensin masih Rp4.500 per-liter," katanya. Oleh karena itu, katanya, alih energi dari bensin kepada energi alternatif seperti minyak jarak juga perlu subsidi atau insentif dari pemerintah sampai akhirnya rakyat betul-betul beralih kepada energi non-BBM. "Pemerintah juga perlu menyediakan ketersediaan minyak jarak atau energi alternatif dalam jumlah besar melalui sejenis SPBU atau lainnya, lalu yang juga penting adalah rekayasa mesin sepeda motor atau mobil dari bensin/solar ke energi non-BBM itu," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006