Phnom Penh (ANTARA) - Tiba di Phnom Penh, Ibu Kota Kamboja,  disambut dengan banyaknya kendaraan warna-warni yang mengingatkan kepada kendaraan bajaj yang mengisi ruas jalan di Ibu Kota Jakarta.  Kehadirannya di tengah gedung-gedung bernuansa pucat dan cuaca terik, memberikan kesegaran tersendiri.

Moda transportasi tradisional itu oleh masyarakat setempat dinamai tuk-tuk . "Karena suara mesinnya terdengar seperti itu, ketika berganti gigi," kata Vuthy, seorang pengemudi tuk-tuk, yang saat itu mengantarkan pengguna jasa menuju Chroy Changvar Convention Center Phnom Penh, salah satu lokasi perhelatan sejumlah cabang olahraga ajang SEA Games 2023.

Seperti bajaj di Jakarta, tuk-tuk memiliki beberapa cara untuk memesannya. Pelancong bisa memberhentikan langsung di pinggir jalan maupun memesannya lewat aplikasi transportasi daring.

Jika menyukai proses tawar-menawar, turis bisa melakukan opsi pertama. Namun, jika sebaliknya, pilihan kedua menjadi yang tepat karena tarif yang dibanderol merupakan tarif yang tetap (fixed).

Tuk-tuk pun masih menjadi favorit masyarakat Kamboja maupun turis mancanegara karena ongkosnya yang jauh lebih murah daripada naik taksi maupun menyewa mobil.

Untuk jarak yang tidak terlalu jauh, misalnya dari George Street Phnom Penh menuju Museum Nasional Kamboja, pelancong hanya perlu merogoh kocek sebesar satu dolar AS (sekira 4.100 riel Kamboja) untuk sekali jalan.

Tarif ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan kendaraan taksi daring maupun luring yang bisa dua hingga tiga kali lipat. Lagipula, bagi pelancong tak ada yang lebih menyenangkan selain berkelana mengelilingi kota dengan kendaraan khasnya.

Proses membayar ongkos pun cukup unik. Tarif yang ditunjukkan di aplikasi transportasi daring ialah dengan mata uang lokal, namun, penumpang bisa bertransaksi dengan dolar AS. Jika tidak membayar dengan uang pas, sopir akan mengembalikannya dengan mata uang riel Kamboja, yang bisa berlembar-lembar dari selembar dolar AS.
Bagian dalam saat menumpangi tuk-tuk di salah satu jalan di Phnom Penh, Kamboja. (ANTARA/Arnidhya Nur Zhafira)


Hal menarik ketika naik  tuk-tuk adalah bisa bercengkrama dengan sang pengemudi. Jika beruntung, ada sopir yang bisa berbahasa Inggris walaupun dengan sedikit terbata-bata. Mereka dengan senang hati menjelaskan objek-objek terkenal di kanan dan kiri jalan ketika kendaraan mini itu melaju.

"Mau berhenti dulu di sini? Ini tempatnya bagus. Tapi sepertinya tidak bisa masuk," ujar Vuthy sembari menunjuk Istana Kerajaan Kamboja (Royal Palace) yang hendak dilewati.

Kemacetan yang cukup akrab bagi penduduk Phnom Penh pun membuat tuk-tuk masih menjadi favorit masyarakat sekitar. Tuk-tuk dengan lincah menyalip kendaraan-kendaraan yang lebih besar darinya. Tapi, tetap berhati-hati, karena ada sebagian tuk-tuk yang tidak memiliki pintu.

Berbeda dengan bajaj atau angkot di Indonesia yang tidak bisa berhenti dan masuk sembarangan, tuk-tuk dengan bebas mengantar dan menjemput penumpang dari segala titik. Tidak ada titik penjemputan khusus seperti yang lumrah dijumpai di negeri sendiri.

Tuk-tuk bisa berhenti dan menjemput penumpangnya dari gedung olahraga di dalam stadion, hingga di tepat di depan gerbang keberangkatan dan kedatangan bandara udara.

Perjalanan sejauh 8 kilometer menuju Chroy Changvar Convention Center memakan waktu kurang lebih 20 menit dengan menggunakan transportasi itu.
 
Tuk-tuk yang bisa ditemukan di salah satu ruas jalan di Phnom Penh, Kamboja. (ANTARA/Arnidhya Nur Zhafira)


Teriknya matahari di Phnom Penh seakan bisa dihalau dengan atap yang menutupi bagian atas. Angin hangat yang menerpa wajah pun dengan ramah menyapa dari "jendela" kecil di kanan dan kiri penumpang.

"Saya suka mengantar ke tempat yang jauh," kata Vuthy, yang sudah tinggal di Phnom Penh lebih dari setengah umurnya itu.

Mengantarkan turis ke tempat-tempat wisata, menurutnya cukup membuat jenuh. Namun, adanya SEA Games membuatnya mengantar penumpang dari beragam negara di Asia Tenggara ke lokasi-lokasi yang cukup jauh dari pusat ibu kota.

Selain itu, aksesnya yang mudah dan murah juga terus menjadi alternatif pertama yang dipertimbangkan oleh banyak orang, termasuk jurnalis yang meliput SEA Games dan memiliki mobilitas yang cukup tinggi untuk beralih dari satu tempat ke tempat lainnya dalam sehari.

Bahkan, di Stadion Nasional Morodok Techo yang letaknya berada di pinggiran Ibu Kota Phnom Penh pun deretan tuk-tuk siap mengantarkan para penumpang ke tempat tujuan.

SEA Games agaknya tak hanya menjadi pesta olahraga terbesar di kawasan, namun juga menjadi wadah belajar antarbangsa ASEAN yang menyenangkan sekaligus bernas.

Tuk-tuk yang juga ditemui di beberapa negara di region Asia Tenggara seperti Thailand hingga Laos, bahkan Indonesia dengan nama yang berbeda, juga menjadi pengingat bahwa kita memiliki kedekatan satu sama lain.

Dengan teknologi yang mengiringi keberadaan tuk-tuk yang sudah eksis sejak puluhan tahun silam, juga semakin memudahkan masyarakat dalam dan luar Kamboja untuk berkelana dari satu tempat ke tempat lain.

Vhuty mengakui dirinya tidak bicara bahasa Inggris dengan lancar, namun, adanya aplikasi penerjemah daring juga ambil andil untuknya berkomunikasi dengan para penumpang mancanegaranya.

Ia pun senang bisa menjadi saksi perhelatan SEA Games perdana di negaranya, dan mengenalkan Negeri Khmer melalui kendaraan yang sudah ia bawa selama bertahun-tahun itu kepada banyak orang.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023