Jakarta (ANTARA News) - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dan Komisi VII DPR menyepakati perusahaan swasta baik asing maupun dalam negeri tidak bisa mendistribusikan BBM bersubsidi. Wakil Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana dalam rapat dengar pendapat dengan Kepala BPH Migas Tubagus Haryono di Jakarta, Senin, mengatakan sesuai pasal di UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas yang telah dianulir Mahkamah Konstitusi (MK), pendistribusian BBM bersubsidi tetap berada di tangan negara. "Artinya, badan usaha yang bisa mendistribusikan BBM bersubsidi kalau tidak BUMN ya BUMD," katanya. Kepala BPH Migas Tubagus Haryono mengatakan, pihaknya akan mendukung kesepakatan itu. Namun, sesuai aturan yang ada, menurut dia, mekanisme penyediaan BBM bersubsidi dapat dilakukan melalui mekanisme lelang dan penunjukkan langsung. Artinya, terbuka peluang bagi perusahaan swasta mendistribusikan BBM bersubsidi. Menurut dia, saat ini, perusahaan migas selain PT Pertamina (Persero) memang belum siap dalam mendistribusian BBM bersubsidi sesuai aturan yang ditetapkan. "Kenyataannya, badan usaha di luar Pertamina yang berencana mendirikan ratusan pompa bensin dalam waktu sekian tahun, kini hanya bangun beberapa saja," katanya. Selain itu, badan usaha itu juga belum bisa memenuhi persyaratan lain seperti membangun di dua wilayah distribusi dan memiliki fasilitas penyimpanan. Pengamat migas Karimarajo Tunggul Sirait di tempat terpisah mendukung kesepakatan itu. Menurut dia, saat ini, belum saatnya dilakukan liberalisasi sektor hilir migas di Indonesia. "Industri di dalam negeri masih belum siap. Karenanya, perlu disusun program persiapan menghadapi liberalisasi hilir migas dengan melibatkan BUMN dan BUMD," katanya dalam diskusi yang diselenggarakan Komite Indonesia untuk Pengawasan Energi (Kipper). Karimarajo juga mengingatkan, pemerintah segera merevisi UU Migas sesuai ketetapan MK agar liberalisasi sektor migas bisa ditunda pemberlakuannya. Hal senada dikemukakan Sekjen Kipper Sofyano Zakaria. Ia mengatakan, sidang MK pada 21 Desember 2004 telah menganulir tiga pasal UU Migas karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. "Revisi UU Migas harus segera dilakukan karena sekarang ini para pengusaha sudah berbondong-bondong ingin masuk ke bisnis hilir," katanya. Kesimpulan lain rapat dengar pendapat tersebut adalah Komisi VII DPR akan mengusulkan adanya dana pengawasan pendistribusian BBM bersubsidi tahun 2006 sebesar Rp150 miliar.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006