Untuk menjadi pusat unggulan sulit dan harus memiliki skor tinggi minimal 850, sedangkan skor 600-700 untuk lembaga dalam tahap pembinaan."
Jakarta (ANTARA News) - Badan Penelitian dan Pengembangan selama ini sering menjadi tempat "orang buangan" dan sering dipelesetkan menjadi "sulit berkembang".

Kelakar itu dilontarkan Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta yang beberapa bulan setelah pindah kursi dari Menteri Lingkungan Hidup, pada Oktober 2011, ke kursi Menteri Riset dan Teknologi, mengumpulkan puluhan Kepala Balitbang provinsi di Indonesia.

"Tapi sekarang Balitbang di daerah-daerah sudah banyak berisi orang-orang penting, profesor dan doktor. Mari kita buat balitbang bagus dengan membentuk forum koordinasi untuk menguatkan Sistem Inovasi Daerah," kata Menristek pada pertemuan pertama para Kabalitbang provinsi di Jakarta pada Mei 2012.

Ia menyatakan senang, Peraturan Bersama Menristek dan Mendagri no 3 dan 36 tahun 2012 tentang Penguatan Sistem Inovasi Nasional (Sinas) dan Sistem Inovasi Daerah (Sida) telah diteken sehingga pihaknya bisa langsung "mendekati" Balitbang-balitbang di daerah yang selama ini terpencar sendiri-sendiri.

Jika jaringan antara Sinas dan Sida terbentuk, ia mengharapkan daerah-daerah akan termotivasi, lebih terarah dan bisa saling "sharing" dalam merumuskan sistem inovasi untuk mengolah potensinya masing-masing dan memberi nilai tambah bagi perekonomian daerah.

Kerjasama dengan para kepala balitbang kementerian juga dijalin melalui pengaktifan kembali Dewan Riset Nasional (DRN), dimana para kabalitbang ini menjadi ketua-ketua dari tujuh bidang fokus, yakni pangan, kesehatan, energi, teknologi informasi dan komunikasi, transportasi, pertahanan, dan material maju.

Enam bidang memang telah menjadi fokus kementerian itu sejak masa Menristek Kusmayanto Kadiman dan ditambah satu fokus lagi, material maju, pada masa Menristek Suharna Surapranata.

Tujuannya agar alokasi pendanaan riset lebih terfokus sehingga hasilnya lebih nyata.

Untuk mengembangkan tujuh bidang fokus ini pula pada 2012 Kemristek memiliki format baru pendanaan, dimana sebanyak 829 proposal penelitian dengan jumlah peneliti 3.782 orang terpilih untuk diberi insentif riset.

Insentif riset itu dikemas dalam program Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) dimana masing-masing peneliti didanai Rp50 juta sehingga total dana sekitar Rp190 miliar.

"Program ini untuk pertama kalinya kita selaraskan dengan strategi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan diharapkan dapat meningkatkan peran peneliti mendukung pertumbuhan ekonomi nasional," kata Menteri.

Deputi Menristek bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek Teguh Rahardjo, mengatakan, proposal yang memperoleh insentif tersebut merupakan hasil seleksi dari 1.622 usulan proposal dari 7.355 peneliti yang berasal dari enam Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) di bawah koordinasi Kemristek, 20 litbang Kementerian, dan tujuh lembaga litbang daerah.

Proposal yang terseleksi sebanyak 41 persen merupakan riset tentang pertanian dan pangan, kelapa sawit 14 persen, hingga perikanan 8,77 persen. Sebelumnya insentif tersebut merupakan dana APBN Kemdikbud, namun kini dimasukkan ke APBN Kemristek.

Tunjangan naik
Selain insentif penelitian yang makin diperbanyak, pada 2012 ini, ilmuwan bisa makin tersenyum cerah dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden mengenai kenaikan tunjangan fungsional peneliti pada 17 November 2012.

Realisasi ini tiga bulan setelah janji-janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang peningkatan kesejahteraan peneliti diungkapkan pada peringatan puncak Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) ke-17 di Bandung, 30 Agustus.

Selama ini, kata Menteri, peneliti mengeluh tunjangannya sangat kecil, hanya sekitar Rp1,25 juta per bulan, karena itu dengan Perpres ini, mereka bisa memperoleh tunjangan Rp4-5 juta per bulan dan sudah bisa dinikmati dengan rapel pada Desember 2012.

Gusti juga mengatakan pihaknya berniat mengajukan anggaran untuk memberi beasiswa bagi orang-orang cerdas di Indonesia ke berbagai universitas terbaik dunia agar sepulangnya dari menimba ilmu mereka bisa bermanfaat bagi kemajuan bangsa.

"Para ilmuwan yang dulu pernah disekolahkan Habibie ke luar negeri, 35 persen sudah mau pensiun, karena itu saya mau minta alokasi Rp1 triliun khusus untuk menyekolahkan SDM-SDM Indonesia yang unggul supaya bangsa ini tidak jadi tertinggal," katanya.

Hal ini, menurut dia, sesuai dengan pesan pilar ketiga MP3EI, memperkuat kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dan Iptek yang merupakan ranah Kemristek.

Tidak berhenti pada penguatan SDM riset dan kerjasama, Menristek juga meningkatkan kapasitas lembaga-lembaga riset dengan mulai mencanangkan pusat-pusat unggulan.

Diawali dengan menetapkan Pusat Unggulan Kelapa Sawit (PPKS) di Medan pada akhir 2011, lalu disusul Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, di Jember dan Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga, di Surabaya di penghujung 2012.

Lembaga-lembaga ini terpilih berdasarkan empat kriteria yaitu kemampuan lembaga menyerap informasi atau teknologi dari luar, kemampuan melakukan kegiatan litbang, mendiseminasi hasil litbang dan kemampuan memberi nilai tambah pada sumber daya alam.

Sedangkan sembilan lembaga lain yang juga terseleksi untuk dibina menjadi pusat unggulan, yakni Pusat Penelitian Karet, Bogor, Pusat Penelitian Biofarmaka IPB, Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB, Konsorsium Lembaga Riset Lahan Suboptimal Sumatera Selatan.

Juga Konsorsium Lembaga Riset Sumberdaya Alam Unlam, Kalsel sebagai pusat unggulan Hutan Tropis Berkelanjutan, Konsorsium Lembaga Riset Pariwisata Bali, Konsorsium Lembaga Riset Ruminansia Besar Bali, NTB, NTT, Konsorsium Lembaga Riset Rumput Laut Unhas, Sulsel dan Konsorsium Lembaga Riset Sagu Unipa, Papua.

"Untuk menjadi pusat unggulan sulit dan harus memiliki skor tinggi minimal 850, sedangkan skor 600-700 untuk lembaga dalam tahap pembinaan," kata Asisten Deputi Kompetensi Kelembagaan Kemristek Dr I Wayan Budiastra.

Lembaga yang memenuhi syarat ini akan diberi insentif riset Rp2-3 miliar per tahun agar bisa mandiri sebagai pusat unggulan, tambahnya.

Menteri berharap pusat-pusat unggulan lahir setiap tahun dari berbagai daerah, dan menjadi pusat riset dan "sharing" ilmu, menjadi pusat pelatihan bagi masyarakat lokal, bahkan mampu mandiri dengan menghasilkan produk-produk unggul di pasaran.

"Jadi selain unggul dari sisi akademik ditandai dengan banyaknya publikasi dan paten, juga dari sisi sosial dan ekonomi," kata Menteri sambil mencontohkan Puslit Koka yang mampu memproduksi kopi dan kakao dari hulu ke hilir di samping meriset dan menjual bibit, pupuk, obat hama, bahkan mesin-mesin pengolah kopi dan kakao.

Selain pusat-pusat unggulan, Menristek juga menginginkan dibangunnya Science Technopark di berbagai daerah dimana pada suatu kawasan terdapat berbagai pihak yang bersinergi seperti kampus, lembaga riset, serta perusahaan-perusahaan.

"Ibu Kepala Balitbangda Kaltim sudah dikirim ke Korea Selatan untuk pelajari dan persiapkan Kalimantan Timur menjadi pelopor pembangunan Science Technopark untuk koridor Kalimantan," katanya.

Saat ini, urainya, Indonesia sudah memiliki Technopark di Bandung yang berfokus pada teknologi informasi dan komunikasi, juga Technopark di Solo.

Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong Banten yang berada di bawah koordinasi Kemristek, juga sedang direvitalisasi.

Dia berharap, dengan sejumlah sepak terjang dari mulai koordinasi balitbang, insentif riset, kenaikan tunjangan, beasiswa, pembentukan pusat unggulan hingga technopark, maka riset dan iptek tidak lagi tertinggal di belakang dan bisa turut menopang kemajuan bangsa.

(D009/A025)

Oleh Dewanti Lestari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2012