Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran menilai Indonesia dapat memanfaatkan potensi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) untuk membangun ekosistem kendaraan listrik dalam negeri.

Menurut dia, RCEP yang mencakup negara ASEAN plus Australia, China, Selandia Baru, Jepang dan Korea Selatan akan membuka kesempatan yang lebih besar bagi Indonesia untuk terhubung dengan rantai nilai global.

"RCEP dapat mendorong masuknya investasi, baik dari luar (FDI) maupun dari dalam negeri (domestic investment) ke sektor manufaktur yang dirancang memanfaatkan kawasan RCEP," kata Hasran dalam pernyataan di Jakarta, Selasa.

Lulusan Master Bidang Internasional dan Ekonomi Pembangunan Australian National University itu menambahkan potensi pengembangan kendaraan listrik di Indonesia sangat besar mengingat cadangan nikel dan kobalt yang digunakan sebagai bahan baku baterai listrik sangat melimpah.

Selain itu, kemudahan mengurus surat keterangan asal barang (SKA), serta pemberian tarif preferensi dalam skema RCEP dapat menjadi daya tarik produsen kendaraan listrik maupun baterai listrik global untuk berinvestasi di Indonesia.

"Posisi Indonesia dalam pasar kendaraan listrik masih sangat kecil, namun, berpotensi besar untuk terus berkembang. Apalagi, di Indonesia pengembangan kendaraan listrik menjadi semakin urgen seiring dengan isu perubahan iklim yang kian menjadi prioritas pengambil kebijakan," kata Hasran.

Baca juga: Kemenperin terbitkan pedoman bantuan pembelian motor listrik

Indonesia juga berpotensi menyusul China dan Korea Selatan yang saat ini menjadi pasar utama kendaraan listrik di regional RCEP. Dari 6,6 juta unit penjualan kendaraan listrik di 2021, penjualan tertinggi terjadi di China dengan 3,3 juta unit, diikuti Eropa 2,3 juta dan AS sebanyak 630 ribu.

Indonesia pun sudah memiliki empat perusahaan bus listrik, tiga perusahaan mobil listrik serta 35 perusahaan roda dua dan tiga listrik di 2022. Kondisi ini mengisyaratkan Indonesia telah memiliki kapasitas produksi yang memadai dan berkembang dibandingkan negara ASEAN lainnya.

"Perkembangan ini, tidak terlepas dari langkah-langkah inisiatif yang ditempuh oleh pemerintah dalam empat tahun terakhir. Di tahun 2019, Indonesia menerbitkan Perpres Nomor 55/2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai," kata Hasran.

Namun, Indonesia masih mempunyai beberapa pekerjaan rumah, seperti upaya meningkatkan penelitian dan pengembangan serta pelatihan SDM di sektor kendaraan listrik. Keduanya tidak bisa mengandalkan pembiayaan dari APBN semata.

Oleh karena itu, perlu ada skenario insentif yang lebih baik agar perusahaan kendaraan listrik juga mau melakukan kegiatan dan menyediakan pelatihan bagi pekerjanya maupun pihak luar.

"Selain itu, Indonesia perlu menetapkan prioritas utama dan fokus pada prioritas tersebut. Indonesia perlu menentukan, apakah dia ingin menjadi produsen baterai listrik, produsen kendaraan listrik ataukah keduanya," kata Hasran.

Menurut dia, rantai nilai yang dimiliki untuk pengolahan baterai listrik, yang berkontribusi terhadap 35 persen biaya manufaktur kendaraan listrik, sudah sangat kompleks, mulai dari penambangan dan pemurnian bahan baku, manufaktur komponen, manufaktur satuan sel baterai dan perakitan baterai.

"Ini belum termasuk manufaktur kendaraan listrik yang punya rantai produksinya sendiri hingga daur ulang kendaraan. Masing-masing mata rantai ini bisa menghabiskan triliunan rupiah untuk aspek penelitian dan pengembangan yang memang penting untuk dilaksanakan," kata Hasran.

Baca juga: Percepat penggunaan kendaraan listrik, pemerintah luncurkan insentif

Baca juga: Tiga motor listrik UNITED E-MOTOR kantongi TKDN tertinggi di Indonesia

Baca juga: Pemerintah diskon 10 persen biaya PPN untuk mobil listrik
Pewarta:
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023