Jakarta (ANTARA News) - Penyelesaian kasus terhadap Presiden RI periode 1966-1998, HM Soeharto, harus dilakukan melalui jalur hukum karena seluruh warga negara memiliki kedudukan sama di hadapan hukum, demikian penegasan Wakil Ketua DPR, Soetardjo Soerjogoeritno. Semua warga negara, tidak memandang apakah mantan presiden atau rakyat biasa, di mata hukum memiliki kedudukan yang sama, ujarnya saat menerima aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) di Gedung DPR Jakarta, Rabu. Menurut politisi senior Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang akrab disebut "Mbah Tardjo" itu, terkait dengan penuntasan kasus Soeharto dan kroninya, sebagaimana diisyaratkan dalam TAP MPR XI Tahun 1998, DPR akan berusaha keras memaksimalkan pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), dan meningkatkan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Dalam kesempatan tersebut, Soetardjo didampingi Ketua Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan, yang mempunyai pandangan serupa mengenai penanganan kasus Soeharto. Menurut Mbah Tardjo, dalam kasus Soeharto, DPR akan tetap berusaha menyelesaikan kasus itu di muka pengadilan. "Ini masalah hukum, kita seharusnya tidak kompromi terhadap masalah ini," kata politisi gaek yang masih punya hubungan darah dengan kerabat Keraton Yogyakarta tersebut. Mengenai keluarnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Soeharto (SKPPP), Mbah Tardjo mengatakan, langkah yang diambil pemerintah itu salah. "Langkah pemerintah itu tidak benar. Itu tidak ada kekuatan hukumnya," katanya. Untuk itu, Soetardjo mengemukakan, DPR akan terus membahas permasalahan tersebut, karena menyangkut hukum yang harus ditegakkan. Ia pun menegaskan, harta yang dikorupsi oleh Soeharto harus dikembalikan kepada negara, dengan menyita harta yayasan yang diduga berasal dari aksi korupsi. Sementara itu, Ketua Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan, mengatakan bahwa keluarnya SKPPP penghentian kasus hukum Soeharto telah mengingkari hasil rapat kerja di antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada tanggal 20 Februari 2006. Dalam rapat itu, katanya, pada kesimpulan butir 6 menyatakan bahwa Jaksa Agung diharuskan mengobati Soeharto, dan biayanya dibebankan kepada negara, kemudian setelah sembuh dapat diusut ke MA. "Langkah SKPPP yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung ini sangat tergesa-gesa," katanya. Lebih lanjut, Trimedya mengatakan, Pemerintah Susilo Bambang Yidhoyono tidak konsisten, jika memang akan menegakkan hukum di bidang korupsi, yang bertujuan menyelamatkan keuangan negara. "Kenapa tidak ada upaya Jaksa Agung mengejar harta Soeharto," demikian Trimedya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006