Jakarta (ANTARA News) - Belum lama ini Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan pernyataan kontroversial berupa ajakan untuk memboikot pembayaran pajak. Alasannya, selama ini uang pajak sering dikorupsi oleh oknum-oknum nakal pada lembaga pemungut pajak, padahal pajak seharusnya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat. Ajakan boikot pajak dari PBNU ini  menuai ragam pandangan, pro dan kontra.

Tetapi, menurut Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Harry Azhar Aziz, boikot pajak baru sebatas wacana di mana NU sendiri belum mengeluarkan keputusan final mengenai hal ini. Lagi pula, kata dia, jumlah Wajib Pajak dari kalangan NU tidaklah besar. "Secara prinsip dalam berdemokrasi, boikot dan tidak boikot itu biasa saja. Untuk memanaskan suasana ya bisa saja. Begitu orang yang kena pajak, seharusnya hukumannya pribadi,” kata Harry Azhar.

Azhar sendiri menolak dengan tegas gagasan boikot pajak ini.  "Saya tidak setuju, itu ide yang menyesatkan,” katanya. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menilai imbauan boikot pajak itu adalah salah sasaran. Dan Azhar, dengan bahasa lain namun bermakna sama dengan penilaian Ditjen Pajak, juga menganggap boikot pajak tidak relevan dengan persoalan pajak yang selama ini dihadapi Indonesia.

"Saya kira boikot itu dikaitkan antara korupsi, itu dua hal yang berbeda, termasuk korupsi yang ada di Ditjen Pajak dan di luar Ditjen Pajak,” kata Azhar. Bahkan jika pun terjadi korupsi dalam internal Ditjen Pajak boikot membayar pajak tetaplah menyesatkan, sambungnya. "Yang harus dilakukan adalah, reward dan punisment yang dilaksanakan Ditjen Pajak,” kata Azhar seraya menawarkan solusi mengatasi atau mencegah tindak korupsi pajak.

Lebih dari itu, Azhar menilai ancaman boikot pajak itu tidak akan mempengaruhi kuantitas pajak yang dikumpulkan Ditjen Pajak.  Sebagian karena pandangan ini masih prematur sehingga tidak akan mempengaruhi penerimaan pajak, kendati tetap pemerintah dan Ditjen Pajak mesti menanggapi positif kritik PBNU ini. "Masyarakat akan melihat NU sendiri, arti citra NU akan turun,” kata Azhar, merujuk pada hubungan ancaman boikot pajak oleh NU dengan insentif politik yang akan didapat NU. Tapi, demi menjawab kritik pedas PBNU dalam soal penyimpangan pajak ini sendiri, Direktorat Pajak akan mengenalkan sanksi yang tegas kepada Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajibannya.

Persoalan ini mengemuka karena ketidakpatuhan Wajib Pajak sering merupakan titik di mana korupsi pajak dan kongkalikong pajak terjadi.  Untuk itu, sanksi tegas dipandang sebuah langkah dalam menekankan korupsi pajak yang adalah muara dari kritik PBNU terhadap sistem perpajakan nasional tersebut. Azhar melihat sanksi tegas ini dari dua sisi.  Pada satu sisi itu baik, tapi di sisi lainnya Ditjen Pajak mesti berhati-hati dalam menerapkannya. "Saya mendukung komitmen Ditjen Pajak menindak tegas, mulai surat teguran sampai paksa badan. Itu harus dilakukan, tapi semestinya dilakukan secara bijak. Mana yang dilakukan dengan teguran, mana yang harus surat paksa badan,” kata Azhar.

Sebaliknya Azhar juga meminta Ditjen Pajak bersikap tegas pula ke internal lembaga ini, dengan diantaranya menekan praktik penyalahgunaan posisi dan wewenang oleh para pegawainya sehingga tidak terjadi korupsi pajak. Dia menilai pucuk pimpinan Ditjen Pajak, yaitu Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, memang ada di barisan depan dalam memimpin lembaganya memerangi korupsi.  Dirjen Pajak, katanya, bisa dipersalahkan atas kasus korupsi pajak pada lembaganya karena dia memang penanggungjawab lingkungan pajak. "Masih ada yang tidak beres yang di luar pengetahuannya yang melibatkan anggotanya,” katanya, sehingga Dirjen Pajak harus memimpin kampanye pembersihan lembaganya dari praktik dan prilaku koruptif dari internal lembaga itu.

Azhar menganggap Ditjen Pajak memang perlu terus mendapat masukan dari masyarakat.  Oleh karena itu, dia melihat ancaman boikot dari PBNU itu adalah sebuah kritik dan masukan, demi optimalisasi kualitas layanan dari Ditjen Pajak. "Dalam negara demokrasi, saya tidak bisa menghimbau, itu sah-sah saja. Itu pendapat mereka (NU). Cuma, saya sampaikan pendapat berbeda sehingga masyarakat tahu mana yang benar dan mana yang salah,” pungkas Azhar.

Narasumber: Harry Azhar Azis, Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2012