Jakarta (ANTARA News) - Kemungkinan penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia (BI) diharapkan tidak terlalu drastis, karena dikhawatirkan dapat membuat investasi asing jangka pendek atau hot money akan keluar dari Indonesia. Hal itu diungkapkan Dirut Bank Mandiri Agus Martowardoyo dan Pengamat Ekonomi Indef, Dradjat Wibowo, di sela-sela acara seminar Urgensi Penyelesaian Non Performing Loan (NPL) di Bank BUMN di Jakarta, Senin. "Jangan turun drastis karena pasar modal akan kaget, kata Agus. Ia mengatakan saat ini memang saatnya menurunkan BI Rate karena inflasi mulai rendah. Sementara itu, Dradjat Wibowo mengemukakan penurunan yang pantas adalah sekitas 25 basis poin. Saat ini BI Rate 12,75 persen. Pada Selasa akan dilakukan rapat Dewan Gubernur BI yang antara lain membahas BI Rate. Dradjat mengatakan BI saat ini menghadapi dua masalah, yakni masalah BI Rate dan rencana percepatan pembayaran utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Ia mengatakan kedua masalah mepunyai efek terhadap masuknya investasi dan cadangan devisa. Ia menyarankan agar kedua kebijakan tersebut jangan diambil bersama-sama. Menurut Drajat pembayaran utang kepada IMF memerlukan keputusan politik dan waktu yang lama. Oleh sebab itu ia menyarakan BI mulai menurunkan BI Rate, namun penurunan tersebut jangan besar, walaupun bank sental Amerika (The Fed) akan menaikkan suku bunganya namun margin yang ada masih besar. Ia mengatakan bulan Mei dan Juni merupakan waktu krusial, karena uang panas (hot money) akan jatuh tempo. Jika penurunan BI Rate sebear 25 basis poin maka tidak akan terjadi goncang gancing ekonomi, katanya. Mengenai pengaruh politik seperti aksi buruh beberapa waktu lalu, Dradjat mengatakan tidak ada pengaruhnya dengan margin bunga yang tinggi, investor lebih menguntungkan memegang rupiah. Namun demikian ia meminta pemerintah tidak melakukan blunder dengan membuat pernyataan yang memanaskan suhu politik. (*)

Copyright © ANTARA 2006