Jakarta (ANTARA) - Berbagai jenama otomotif yang memasarkan kendaraan di pasar Indonesia, kini tengah beramai-ramai untuk menghadirkan kendaraan yang sanggup menghasilkan nol emisi berbasis elektrik.

Hal itu juga sejalan dengan tren global yang gencar memproduksi kendaraan berbasis elektrik dengan baterai sebagai pendorong kendaraan itu untuk berjalan.

Meski begitu, kendaraan-kendaraan konvensional yang saat ini masih sangat eksis di kalangan masyarakat Indonesia, bisa juga menyumbangkan langkah positifnya dengan melakukan berbagai modifikasi yang sudah diatur oleh pihak pemerintah.

Peraturan  Menteri Perhubungan RI Nomor 15 tahun 2022 tentang Konversi Kendaraan Bermotor selain Sepeda Motor dengan Penggerak Motor Bakar Menjadi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai ini menjadi fondasi penting bagi masyarakat yang hendak bermigrasi dari kendaraan konvensional ke elektrik.

Hal itu juga disampaikan oleh  pengajar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agus Purwadi, bahwa konversi dari kendaraan konvensional ke kendaraan elektrik merupakan sebuah jembatan yang tepat untuk memulai era elektrifikasi di Indonesia.

Oleh karena itu, peran kesadaran masyarakat dalam menumbuhkan ekosistem kendaraan ramah emisi di Indonesia, juga sangat penting untuk mempercepat ekosistem kendaraan elektrik itu sendiri.

Selain itu, dukungan pemerintah juga sangat penting dengan mengucurkan berbagai insentif pendukung untuk menyemangati masyarakat yang hendak bermigrasi ke ranah elektrik.

Senada dengan itu, pengamat otomotif dari ITB,  Yannes Martinus Pasaribu, mengemukakan bahwa konversi kendaraan ICE ke kendaraan elektrik merupakan salah satu cara untuk percepatan menuju ekosistem kendaraan zero karbon di Indonesia.

Pemerintah harus dengan jelas dan tegas dalam memberikan kepastian besaran insentif bagi mereka yang mau merelakan kendaraan kesayangan mereka dimodifikasi ke kendaraan elektrik untuk memberikan apresiasi kepada masyarakat.

Memang, permasalahan dari kendaraan listrik itu terletak pada menu utama dari kendaraan itu sendiri yakni baterai yang harganya masih sangat tinggi. Peran pemerintah untuk mengikis harga yang lebih terjangkau sangat memiliki peran penting.

Menurut dia, pemerintah harus terus menggenjot program ini hingga populasi penjualan kendaraan listrik mencapai 30 persen dari populasi. Selepas itu, tentunya insentif ini dapat dikurangi secara berangsur-angsur, karena pasar akan bergerak secara otomatis ke arah tersebut, dengan atau tanpa subsidi.

Hal lain,  sambutan dari berbagai kalangan masyarakat terhadap kendaraan elektrik sangat positif.  Hingga saat ini, pencapaian eksistensi kendaraan tersebut sudah melebih penjualan kendaraan jenis sedan dengan meraih pasar sebesar 1,6 persen dari yang sebelumnya hanya 0,4 persen.

Tidak dipungkiri, eksistensi kendaraan listrik itu akan terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Hal itu dikarenakan karakter manusia yang selalu ingin tampil beda dan menjadi selalu yang pertama.

Hal itu juga terjadi pada tren kepemilikan kendaraan baik itu konvensional maupun yang terbaru. Kendaraan listrik sebagai bentuk pengakuan dari lingkungan yang memang terjadi di hampir dalam diri manusia.

Yannes juga menambahkan bahwa pasar Indonesia memiliki karakter yang unik. Dalam kasus ini, masyarakat sangat dipengaruhi oleh aspek emosi terkait dengan fenomena makna simbolik, identitas, dan emosi yang dikenal dengan istilah fear of missing out (FoMO) pada mereka yang sangat terlibat dengan media sosial.

Meski begitu, tidak sedikit dari mereka yang benar-benar peduli dengan kondisi lingkungan sehingga mereka memutuskan untuk bermigrasi ke ranah elektrik.

Hal tersebut dikarenakan sudah teredukasi dengan berbagai informasi kebaruan dan kecanggihan yang didorong oleh bentuk-bentuk komunikasi dan informasi yang begitu cepat dan masif dari media sosial.

Mengisi transisi

Penggunaan kendaraan listrik yang populer di kalangan masyarakat Indonesia memang tidak dipungkiri memiliki masa transisi yang begitu panjang. Transisi itu mesti dimanfaatkan untuk membangun segala jenis infrastruktur dan yang penting adalah cara jitu menekan penggunaan bahan bakar untuk kendaraan konvensional.

Tidak hanya itu, berbagai cara juga bisa dijalankan oleh pemerintah untuk menekan itu semua dengan upaya menjalankan pajak karbon atau pajak lingkungan hidup baik bagi produsen BBM fosil atau kendaraan konvensional. Sehingga akan membuat biaya kepemilikan kendaraan konvensional menjadi semakin mahal dan tidak ekonomis lagi bagi masyarakat yang memilikinya.

Untuk mengisi masa transisi ini, berbagai terobosan untuk menghasilkan emisi yang ramah lingkungan juga bisa dicapai dengan berinvestasi di ranah penelitian dan juga riset terkait pengembangan teknologi BBM ramah lingkungan yang semakin rendah kadar polutannya, khususnya karbon, seperti Biodiesel (B20, B30, B100), dan Bioetanol (E100).

Sebab, untuk menghasilkan emisi yang baik, tidak hanya datang dari kendaraan penumpang. Kendaraan logistik juga dirasa butuh perhatian penting, karena sejauh ini teknologi baterai belum dapat dipakai untuk kendaraan logistik besar seperti truk dan tronton, karena dimensi dan berat baterainya yang terlalu besar dapat mencapai lebih dari dua ton dan berharga sangat mahal.

Untuk itu, Indonesia memiliki kesempatan untuk bermain di lingkungan elektrifikasi dengan menyediakan berbagai Sumber Daya Manusia (SDM) yang bisa bersaing dengan negara-negara lain.

 Selain itu, Indonesia yang juga memiliki kekuatan Sumber Daya Alam (SDA)  bisa menjadi pemain dalam hal kendaraan elektrik. Bangsa ini tidak hanya menjadi pemain di kendaraan konvensional, tapi juga pada kendaraan yang ramah lingkungan.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022