Jakarta (ANTARA) - Kebijakan manajemen Gelora Bung Karno (GBK) memanfaatkan fasilitas kompleks GBK untuk pentas musik baru-baru ini mendapat kritikan keras dari masyarakat olahraga, Kemenpora dan juga KOI. Pada umumnya mereka menyoroti kerusakan yang terjadi akibat konser musik tersebut.

Sayang kritikan tersebut tanpa solusi atas beratnya beban manajemen GBK untuk biaya perawatan kompleks gedung itu yang diperkirakan sekitar Rp20 miliar per bulan. Jumlah itu harus dipenuhi mereka sendiri.​​​​​

Sementara masyarakat olahraga selama ini minim sekali memanfaatkan kompleks GBK untuk pertandingan olahraga. Mereka lebih banyak sewa lapangan untuk latihan. Keluhan banyak disampaikan karena mahalnya biaya sewa di GBK untuk latihan.

Di sinilah sebenarnya titik tolak perbedaan pandangan antara manajemen GBK dan masyarakat olahraga. Di satu sisi manajamen butuh biaya perawatan, di lain pihak masyarakat olahraga butuh tempat latihan bagus yang terjangkau. Sementara inisiatif penyelenggaraan pertandingan sangat minim dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga.

Memang kompleks GBK dibangun oleh Presiden Soekarno untuk kepentingan olahraga. Di sana sempat ada wisma atlet untuk penginapan pemusatan latihan setiap cabang olahraga. Tapi sekarang semua itu tinggal kenangan. Karena biaya perawatan mahal, maka kepentingan komersial dianggap pemerintah jauh lebih menguntungkan. Sehingga kebijakan pemerintah adalah mengubah kompleks wisma atlet menjadi pusat belanja bisnis, perkantoran, dan penginapan, baik itu hotel maupun apartemen.

Pertanyaan sekarang adalah, kalau dulu fasilitas penginapan atlet boleh dijadikan area komersial, kenapa manajemen GBK tidak boleh memanfaatkan fasilitas GBK untuk disewakan kepada kegiatan non-olahraga yang bersifat komersial?

Berangkat dari kepentingan masing-masing tersebut, kenapa pihak GBK dan induk cabang olahraga, termasuk KONI dan KOI, tidak mengambil inisitatif melakukan kegiatan komersial di GB?. Misalkan menyelenggarakan pertandingan persahabatan atau turnamen internasional di GBK. Pihak KONI, KOI dan induk cabang organisasi tentu punya jaringan luas dengan klub atau atlet internasional tingkat Asia atau dunia. Mereka bisa bekerja sama menentukan jadwal tertentu untuk mendatangkan atlet dunia ke Indonesia.

Petenis, seperti Martina Navratilova, Michael Chang, atau klub sepabola dunia, seperti Ajax Amsterdam, Manchester United, Arsenal, Liverpool, Bayern Muenchen, Juventus, AC pernah tampil di Indonesia. Bahkan klub Santos dengan pesepakbola legendaris, seperti Pele, pernah bermain di gelanggang itu tahun 1972 dan penonton membludak sekitar 75 ribu orang. Petinju dunia, seperti Muhammad Ali, juga bersedia tampil di Indonesia. Semua aktivitas beberapa cabang olahraga tersebut berpusat di Kompleks GBK.

Artinya semua pemangku kepentingan tahu persis bahwa masing-masing memiliki kontribusi tersendiri untuk membuat dunia olahraga Indonesia lebih semarak dengan pertandingan tingkat internasional dan dunia. Yang diperlukan adalah bagaimana mereka bisa berkolaborasi dan berkooptasi, bukan malah berkompetisi atau menyalahkan satu sama lain.

Kita sadari usai Asian Games 2018 hampir tidak ada ajang besar olahraga yang diselenggarakan induk cabang organisasi olahraga di kompleks GBK. Mungkin hanya sepakbola dengan kompetisi liga, bulutangkis dengan Indonesia Masters dan Open 2022 atau cabang atletik yang diselenggarakan oleh Koppasus yang telah memanfaatkannya. Ditambah lagi seluruh negara di dunia dilanda pandemi COVID-19, hingga kompleks GBK harus tutup hampir dua tahun lamanya.

Di samping itu ketergantungan dunia olahraga terhadap dana dari pemerintah semakin tinggi, baik untuk pembinaan prestasi maupun penyelenggaraan pertandingan. Hingga sekarang  KONI Pusat belum bisa membuat PON sebagai ajang komersial untuk menutup biaya operasional di KONI Pusat sendiri.

Atau pihak KOI tidak tergantung lagi dari biaya pemerintah dalam mengirimkan kontingen Indonesia ke Olympiade, seperti yang pernah dilakukan oleh Alm. Wismoyo Arismunandar tahun 1996 di Olympiade Atlanta. Saat itu seluruh biaya kontingen ditanggung pihak swasta sebagai sponsor.

Pemerintah Australia sejak lama menetapkan bahwa organisasi NOC di sana tidak mendapat dukungan dana dari pemerintah untuk mengirimkan atletnya ke Olympiade atau Commonwealth Games. Pemerintah hanya membantu biaya untuk operasional dan personel NOC saja. Untuk pengiriman kontingan NOC harus mencari sponsor. Pada Olympiade 2020 di Tokyo lalu, sprinter asal Australia Riley Day terpaksa bekerja di pasar swalayan dan mencari sponsor sendiri untuk mencukupi biaya perjalanan dan akomodasinya selama di Tokyo. Padahal, Riley sudah lolos babak kualifikasi dan menjadi wakil dari negaranya tersebut. Riley kemudian berhasil mencapai semi final di nomor 200 meter puteri Olympiade Tokyo 2020 dengan waktu terbaiknya 22.56 detik.

 

Terobosan

Agar aspek komersial bisa tumbuh di olahraga, baik pihak GBK maupun induk organisasi olahraga, termasuk KONI dan KOI, perlu melakukan terobosan menjadi start up bisnis penyelenggaraan pertandingan. Masing masing pihak harus berani menjadi investor untuk penyelenggaraan pertandingan olahraga internasional di GBK. Pihak GBK-pun bukan semata sebagai penyewa, melainkan nilai sewa dikonversi menjadi nilai investasinya di setiap pertandingan yang diselenggarakan. Kita akan malu kepada Bung Karno karena sejak 1962 kita tidak mampu membangun aspek komersial kompleks GBK untuk kemajuan bisnis olahraga di Indonesia. Model transaksinya masih sewa menyewa, itupun minta keringanan.

Kita ambil contoh Indonesia Open 2022, yang telah diinisiasi oleh PBSI. Ada baiknya semua biaya sewa GBK ke PBSI menjadi modal kerja untuk kejuaraan tersebut. Sehingga ini akan menguntungkan PBSI juga karena biaya yang dibutuhkan bisa lebih ringan. Demikian juga untuk penyelenggaraan Liga Indonesia di cabang sepak bola. Dengan cara ini maka terjadi kooptasi luar biasa antara GBK dengan induk cabang olahraga.

Satu hal menarik adalah PBSI sendiri sudah berkolaborasi dengan industri musik saat penyelenggaraan Indonesia Open 2022. Di bagian luar arena pertandingan Istora Senayan, Jakarta, digelar panggung musik untuk dinikmati penonton yang sedang mencari makanan atau ingin membeli makanan dan cindera mata di lapak sponsor

Intinya potensi bisnis melalui penyelenggaraan pertandingan itu pasti ada. Di era digital dan ekosistem sekarang ini, maka kolaborasi adalah sesuatu yang mutlak dilakukan kalau kita ingin mengembangkan aspek komersial dunia olahraga. Suksesnya Gojek pada awalnya adalah karena berkolaborasi dengan pemilik motor dan penjual makanan atau kebutuhan masyarakat. Kiranya para pemangku kepentingan olahraga bisa duduk bersama untuk berkolaborasi membangun aspek komersial di olahraga.

Akhirnya, sama sama menang melalui koopetisi, bukan saling kompetisi.

 

Fritz E. Simandjuntak*) adalah pemerhati olahraga


 

Copyright © ANTARA 2022