Hampir 80 persen konsumsi energi sektor industri di Indonesia berasal dari batu bara, gas alam, dan minyak bumi, sedangkan sisanya berasal dari listrik,
Jakarta (ANTARA) - Ketua Komite Tetap Energi Baru Terbarukan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Yusrizki mengatakan program dekarbonisasi sektor industri dapat mempercepat penurunan emisi karbon di Indonesia sesuai dengan National Determined Contribution (NDC).

"Hampir 80 persen konsumsi energi sektor industri di Indonesia berasal dari batu bara, gas alam, dan minyak bumi, sedangkan sisanya berasal dari listrik," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Yusrizki memandang bahwa kondisi itu membuat sektor industri menjadi kelompok konsumen energi fosil terbesar di Indonesia dan kelompok penyumbang emisi karbon yang cukup besar.

Baca juga: Asosiasi industri berkomitmen mendekarbonisasi operasional menuju NZE

Pada 2019, industri manufaktur dan konstruksi menghasilkan emisi sebesar 137.040 Gg CO2e, meningkat 29,5 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan emisi ini memang sejalan dengan kenaikan konsumsi bahan bakar industri, yaitu sebesar 30 persen per tahun.

Menurutnya, industri bertanggung jawab atas lebih dari 70 persen total emisi gas rumah kaca global. Adapun sektor energi menyalurkan hingga 33,19 persen emisi gas rumah kaca.

"Tidak ada pilihan selain membenahi penyediaan energi di sektor industri dalam upaya pencapaian target NDC. Sekali lagi, industri bergerak dengan energi yang mayoritas berasal dari bahan bakar fosil, bukan listrik,” kata Yusrizki yang juga menjabat selaku Ketua Kadin Net Zero Hub tersebut.

Ia menambahkan bahwa industri menggunakan listrik dan energi non-listrik dalam kegiatan produksi. Pabrik-pabrik menggunakan energi fosil guna memproduksikan energi secara mandiri yang kemudian digunakan untuk menjalankan sistem pemanas, menggerakkan boiler (untuk menghasilkan uap panas), sistem pembakaran, pendinginan, dan memproduksi bahan mentah untuk diolah menjadi produk jadi.

Yusrizki menyayangkan selama ini upaya penurunan emisi karbon nasional masih sangat terfokus kepada sektor kelistrikan, yang sebenarnya porsi penggunaannya jauh lebih kecil (24 persen) dibandingkan energi fosil (76 persen) oleh sektor industri nasional.

“Tanpa pemahaman yang tepat mengenai konsumsi energi di sektor industri, kita akan sulit untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam dekarbonisasi industri,” jelasnya.

Baca juga: B20 dorong swasta dan lembaga keuangan inisiasi dekarbonisasi industri

Kegiatan dekarbonisasi industri saat ini dilakukan bukan saja untuk memitigasi dampak perubahan iklim, namun juga untuk memitigasi perekonomian Indonesia yang akan sangat terdampak oleh kebijakan-kebijakan perdagangan global yang akan memasukkan komponen komitmen atas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai syarat.

Yusrizki mencontohkan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang disahkan oleh Uni Eropa pada tahun ini memberlakukan pajak tambahan bagi produk-produk tinggi emisi karbon tinggi.

Kandungan emisi karbon termasuk jumlah karbon yang diproduksikan dalam proses produksi, sehingga produk dari negara-negara dengan tingkat emisi karbon tinggi akan dikenakan pungutan pajak tambahan.

"Jika Indonesia tidak dapat menurunkan kandungan emisi karbon dalam produk-produk ekspornya, maka ada pajak tambahan yang harus ditanggung. Ini jelas akan menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar dunia," jelasnya.

Yusrizki menekankan faktor mitigasi perubahan iklim juga menjadi pertimbangan bagi investor dalam menentukan negara tujuan investasi, seperti ketersediaan energi bersih dan faktor emisi karbon dalam sistem kelistrikan nasional.

Saat ini, lanjutnya, faktor emisi karbon dalam sistem kelistrikan Indonesia berada pada angka 788 gram per kWh. Sedangkan, Thailand dan Vietnam berada di angka 549 dan 602 per kWh.

"Dalam perspektif ekonomi nasional, dekarbonisasi industri adalah aksi penyelamatan ekonomi bangsa,” pungkas Yusrizki.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022