Surabaya (ANTARA News) - Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) tetap menolak rencana pengenaan Pajak Ekspor (PE) untuk komoditi kakao karena hal itu akan membebani petani dan menekan harga produk olahan dari Indonesia. "Kita tetap menolak PE. Bahkan, dalam surat yang kita kirimkan ke Menteri Perindutrian sudah kita tegaskan mengenai sikap kita itu," kata Ketua Umum Askindo Zulhefi Sikumbang di Surabaya, Jumat. Ia menilai, PE merupakan politik bisnis dari oknum industri pengolahan kakao yang selalu mengusulkan pengenaan PE dengan maksud mendapatkan biji kakao murah. Tapi, lanjutnya, perlu diingat bahwa pengenaan PE akan berdampak terhadap penerimaan petani karena PE akan dibebankan ke petani. Selain itu, petani juga terbebani pula dengan pengenaan diskon sebesar 300-400 dolar AS per ton. Kondisi tersebut, kata Zulhefi, akan berbahaya bagi kelangsungan kakao di Indonesia karena petani akan beralih ke budidaya komoditi lain yang dinilai lebih menguntungkan. Dampak lainnya, industri besar yang menguasai pasar--utamanya cocoa butter dan cocoa cake--yakni ADM, Cargill, Barry-Callebout, Nestle dan Mars, akan menekan harga produk olahan dari Indonesia karena industri itu juga memproduksi dan membeli cocoa butter sehingga industri pengolahan dalam negeri dirugikan. Dengan demikian, menurut dia, pengenaan PE bukan solusi yang tepat karena tidak ada jaminan PE membuat industri pengolahan bisa berkembang. "Karena itu, sebelum pemerintah membuat keputusan, pemerintah mengkaji masalah tersebut, sebab PE menyangkut sektor perkebunan yang didominasi petani rakyat," ujarnya. Dalam kesempatan itu, Zulhefi menawarkan solusi pengembangan industri pengolahan kakao adalah memproduksi kakao olahan menjadi cocoa powder yang memiliki nilai jual tinggi serta menggalang kemitraan dengan petani secara sungguh-sungguh dalam rangka mendapatkan pasokan bahan baku sesuai kebutuhan. Harga cocoa powder saat ini mencapai 850 dolar AS per ton, sementara cocoa cake hanya sekitar 250 dolar AS per ton, selisih harga yang sangat besar. Zulhefi mengungkapkan, kondisi industri pengolahan kakao Indonesia saat ini memiliki kapasitas terpasang hingga tahun 2003 sebesar 200 ribu ton per tahun dan utilisasinya hanya 130 ribu ton per tahun atau sekitar 65 persen. Untuk tahun 2004-2006 diperkirakan kapasitas mesin terpasang mencapai 290 ribu ton per tahun. Sementara itu, isu utama industri pengolahan kakao nasional saat ini adalah adanya penurunan kualitas produksi kakao yang ditandai dengan tingginya kadar kotoran (high waste) dan declining fat content (low butter yield). Isu lainnya, harga cocoa cake dan cocoa powder turun hingga 250 dolar AS per ton diikuti dengan menurunnya harga cocoa butter, kesulitan memperoleh biji kakao fermentasi di dalam negeri serta pengenaan PPN sebesar 10 persen yang mengganggu cashflow perusahaan industri pengolahan kakao dalam negeri. Zulhefi mengatakan pula, permasalahan utama industri kakao Indonesia saat ini di antaranya adalah turunnya harga cocoa butter di pasar internasional karena kelebihan stok, harga cocoa cake dalam tiga tahun terakhir turun dari 700 dolar AS ke 250 dolar AS per ton juga akibat kelebihan stok, harga cocoa butter Indonesia lebih rendah 2 persen ketimbang Malaysia karena brand image dan biaya pengapalan. Malaysia memproduksi cocoa powder dengan harga jual 800 dolar AS per ton, sedangkan 80 persen pabrik di Indonesia memproduksi cocoa cake yang harganya hanya 250 dolar AS per ton.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006