Jakarta (ANTARA News) - Kontrak Karya PT Freeport Indonesia sudah saatnya dinegosiasikan ulang karena akan lebih dapat memberi keadilan bagi bangsa Indonesia, kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit. "Penutupan PT Freeport tidak bisa dilakukan, karena itu langkah yang tepat yakni negosiasi ulang diperlukan dan itu lebih adil," kata Arbi Sanit kepada ANTARA di Jakarta, Minggu. Menurut dia, dengan negosiasi ulang atas kontrak kerja PT Freeport Indonesia, maka akan dapat dicapai perjanjian baru yang adil dan transparant. Selain itu, renegosiasi juga akan berdampak baik terutama dalam hal keuntungan Indonesia atas beroperasinya Freeport. "Perolehan Indonesia jika dibandingkan keuntungan PT Freeport jauh lebih kecil," katanya. Lebih lanjut Arbi Sanit berpendapat, kepentingan negara harus diperjuangkan, seperti adanya korban yang terjadi akibat aksi demontrasi di Papua, lebih dimaknai sebagai bentuk perjuangan. Sementara itu sumber PT Freeport Indonesia menyebutkan, kontrak kerja pertama PT Freeport Indonesia ditandatangani pada April 1967. Saat itu PT Freeport menjadi satu-satunya perusahaan yang mengelola kawasan Ertsberg, Papua Barat, seluas 10 km persegi. Kontrak berlaku selama 30 tahun, dimulai Desember 1967. Januari 1988, Freeport menemukan deposit emas di kawasan Grasberg. Desember 1991 kontrak karya II ditandatangani dengan jangka waktu 30 tahun, dapat diperpanjang dua kali, masing-masing 10 tahun. Ketua DPP Partai Demokrat Agus Hermanto meminta agar para elit politik di Jakarta menahan diri dan tidak memanas-manasi situasi di Papua termasuk masalah PT Freeport Indonesia, karena masalahnya kini sudah bergeser dari persoalan ekonomi ke wilayah politik. Menurut Agus Hermanto, para elit tersebut diharapkan untuk mempercayakan penanganan kasus kepada aparat dan pemerintah. Untuk itu, dia juga mengharapkan pemerintah menangani kasus Papua dengan cepat, serius dan hati-hati.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006