Atambua (ANTARA News) - Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) Timor Timur (Timtim) Eurico Guterres menegaskan dirinya menghargai putusan Mahkamah Agung (MA) yang meneguhkan keputusan Pengadilan Ad Hoc HAM Jakarta Pusat 27 November 2002 yang menghukumnya 10 tahun penjara. Eurico pada jumpa pers dengan para wartawan Indonesia dan Timor Timur (Timtim) usai beraudiensi dengan Uskup Atambua, Mgr. Anton Pain Ratu, SVD di Atambua, Kamis, menegaskan, dirinya menghargai keputusan MA tersebut. Audiensi dengan Uskup Atambua, Anton Pain Ratu, SVD itu, sekaligus berpamitan sebelum dirinya menjalani hukuman penjara. "Kami hargai keputusan MA yang memenjarakan kami sepuluh tahun namun hal itu tidak berarti menerima atau menyetujuinya. Biarlah sejarah kehidupan ini mengalir bagaikan sungai karena di sanalah terukir kebenaran dan keadilan, siapa yang pantas dihukum dan siapa yang seharusnya dibebaskan," katanya. Dia mengaku, dirinya dijadikan kambing hitam atas masalah kemanusiaan di Timtim pada masa lalu. Penghargaan atas keputusan MA tersebut tidak berarti dirinya membenarkan peristiwa masa lalu di Timtim yang dituduhkan kepada. Dia bahkan, ingin mendudukkan persoalan itu di tempat yang sebenarnya. Bagaimana mungkin, lanjutnya, ia bersama rekan-rekan warga sipil yang memperjuangkan integrasi Timtim dengan Indonesia kini harus memikul sendiri kesalahan orang lain. "Ketidakadilan justeru saya rasakan saat ini, seolah-olah hanya saya Eurico Guterres ini yang bertanggungjawab atas semua kejadian pelanggaran HAM di Timtim sementara mereka yang lain yang termasuk dalam daftar pelanggar HAM berat di Timtim masa lalu itu dibebaskan begitu saja," katanya. Kepada Uskup Pain Ratu, Eurico menjelaskan, berdasarkan Kesepakatan Tripartit (Indonesia, PBB dan Portugal) pada 5 Mei 1999 di New York, tanggungjawab keamanan selama berlangsungnya jajak pendapat rakyat di Timtim sepenuhnya berada di pundak Polri yang dibantu TNI. Tetapi kenyataannya, kata dia, mereka yang disebut bertanggungjawab atas semua insiden di Timtim dan telah dijadikan tersangka serta disidangkan Pengadilan Ad Hoc HAM di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diputus bebas, sementara dirinya dihukum 10 tahun penjara. "Ketika itu saya sebagai warga sipil yang menjabat sebagai Wakil Panglima PPI, organisasi ini pun diakui PBB karena selain PPI diakui juga Falintil. Saya tidak menuduh oknum atau institusi apapun melainkan hendaklah semua pihak memahami persoalan Timtim ketika itu pada porsi yang sebenarnya," katanya. Bagaimana mungkin, lanjut dia, pada akhirnya dirinya seorang sipil yang memikul semua kesalahan. Setelah mendapat peneguhan spiritual dari Uskup Pain Ratu, Eurico sebagai seorang gembala umat, menyatakan akan tabah menjalani kehidupan ini. "Kebenaranlah yang akan berbicara", katanya. Tentang pertemuannya dengan Uskup Pain Ratu, dia melukiskan sebagai sebuah perjumpaan rohani antara domba dengan gembala. Ketika seekor domba mengalami kehausan spiritual, sang gembala menghantar domba itu menuju oase, sumber air yang menyegarkan. Usai pertemuan empat mata dengan Uskup Pain Ratu, Eurico bersama rekan-rekan seperjuangan selama masa integrasi Timtim 1975-1999 langsung meninggalkan Atambua menuju Kupang.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006