Jakarta (ANTARA) - Aktivis perempuan sekaligus anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual Sri Nurherawati mengusulkan ada kebijakan pendukung terhadap pemisahan tempat duduk antara penumpang wanita dan pria di angkutan kota (angkot).

"Harus disertai kebijakan peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan seksual," kata Sri saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.

Menurut Sri, kebijakan Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk memisahkan tempat duduk antara penumpang pria dan wanita itu belum sepenuhnya menyelesaikan masalah kekerasan seksual di tempat publik.

Dia mencontohkan tindak kekerasan seksual masih terjadi di tempat umum, seperti kereta rel listrik (KRL) Commuter Line yang menyediakan gerbong khusus wanita.

Baca juga: Legislator ragu pemisahan pria - wanita di angkot bisa cegah pelecehan

Oleh karena itu, lanjutnya, masyarakat perlu terus mendapat edukasi supaya tidak menjadi pelaku kekerasan seksual. Edukasi itu juga harus diperkuat dengan sosialisasi Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) kepada seluruh elemen masyarakat, tambahnya.

Dia menjelaskan materi sosialisasi yang dapat diberikan itu misalnya terkait kerugian bagi negara, masyarakat, keluarga, pelaku, dan korban jika melakukan tindak kekerasan seksual. Sri juga berharap sosialisasi tersebut bisa dilakukan secara masif kepada masyarakat.

Selain itu, tambahnya, pihak penyedia layanan transportasi umum juga harus menyediakan posko pengaduan yang mudah diakses masyarakat.

Mereka juga harus memberikan respons cepat dan sanksi tegas kepada pelaku kekerasan seksual demi mencegah tindak kekerasan seksual berulang di transportasi umum, selain untuk mendukung budaya anti kekerasan seksual.

"Peran serta semua pihak dalam penegakan hukum sangat dibutuhkan guna mencegah berulangnya tindak pidana kekerasan seksual," kata Sri yang merupakan Ketua Yayasan Sukma.

Baca juga: Pelaku pelecehan seksual di angkot beralasan hanya ambil dompet

Terkait implementasi UU TPKS saat ini, menurut dia, penanganan kasus kekerasan seksual terhadap santri di Jombang, Jawa Timur. Polisi berupaya menangkap terduga pelaku kekerasan seksual terhadap sejumlah santriwati yang dilakukan oleh tokoh pesantren di Jombang tersebut.

"Lumayan berani. Dukungan para tokoh masyarakat seperti PWNU Jatim juga peran yang diharapkan oleh UU TPKS," imbuhnya.

Sementara itu, anggota tim riset INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) Maidina Rahmawati mengatakan sosialisasi UU TPKS harus segera dilakukan karena terdapat pembaruan dalam konteks substansi dan teknis hukum. Menurut dia, sosialisasi itu juga harus diberikan pada aparat penegak hukum.

"Walaupun teman-teman organisasi penyedia layanan yang berbasis masyarakat sudah melakukan pengawalan terhadap UU TPKS, tetapi harus dijamin bahwa ada sosialisasi, pelatihan, dan pendidikan. Sepanjang kami melakukan FGD (focus group discussion) dan wawancara memang itu belum dilakukan secara intensif pascapengesahan UU TPKS," ujar Maidina mengutip penelitian INFID.

Sebelumnya, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syahrin Liputo berencana menerapkan pemisahan tempat duduk antara penumpang pria dan wanita di dalam angkot guna mencegah kasus pelecehan seksual. Penumpang wanita akan duduk di barisan tempat duduk sebelah kiri, sedangkan penumpang pria di sebelah kanan.

Kebijakan tersebut diumumkan berselang beberapa hari setelah kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di dalam angkot M44 di sekitar Tebet, Jakarta Selatan.

Baca juga: Dishub DKI pisahkan kursi penumpang pria dan wanita di dalam angkot
Baca juga: Kak Seto desak psikolog Dinas Kesehatan DKI bantu korban asusila

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022