Surabaya (ANTARA News) - Ketua Serikat Pekerja (SP) PT PLN Pusat Ir Achmad Daryoko berpendapat bahwa kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebenarnya tak perlu terjadi bila pemerintah memprioritaskan penggunaan BBG (bahan bakar gas) dan bukan BBM (bahan bakar minyak) untuk PT PLN. "Masalahnya, ada aturan yang sepertinya disengaja bahwa kebutuhan BBG untuk dalam negeri dibatasi maksimun 25 persen, sedangkan lainnya diekspor. Kalau kebijakan seperti itu tidak diubah, maka TDL akan naik terus," katanya dalam seminar energi nasional yang digelar BEM ITS Surabaya di kampus setempat, Rabu. Seminar bertajuk "Haruskah TDL Naik?" itu dibuka rektor ITS Prof Mohammad Nuh dengan pembicara kunci Dr Ir Yogo Pratomo (Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Eenergi Departemen ESDM), sedangkan pembicara lain Ir Daryono (TENOV Centre), Ir Achmad Daryoko (ketua SP PT PLN Pusat), Indah Sukmaningsih (ketua YLKI), dan Ir Erlangga Satriagung (ketua KADIN Jatim). Menurut Daryoko, di Jawa ada sekitar 7.000 pembangkit yang bila menggunakan BBM akan menghabiskan Rp28,5 triliun/tahun, namun jika menggunakan BBG hanya akan menghabiskan Rp5 triliun/tahun. "Jadi, ada penghematan Rp23,5 triliun, bahkan pemerintah juga tak perlu sibuk memikirkan subsidi untuk PT PLN dan rakyat juga tidak dipusingkan dengan kenaikan TDL, karena itu pemerintah perlu merevisi kebijakan ekspor BBG yang cukup besar itu. Buat apa BBG dibuang ke luar negeri, tapi orang kita sendiri sengsara?," katanya. Selain itu, katanya, pemerintah juga perlu mengkaji kebijakan tentang BBM dan pajak untuk PLN. "Pemerintah seharusnya tidak mengenakan harga BBM industri dan mengenakan pajak yang tinggi," katanya. Senada dengan itu, Ir Daryono dari TENOV Centre for Tecnology and Industry Policies menegaskan bahwa hasil penghitungan TENOV menunjukkan kenaikan TDL memang didasarkan pada kenaikan harga BBM. "Kalau subsidi pemerintah untuk PT PLN sesuai perhitungan kami sebesar Rp21 triliun, maka Rp12,6 triliun di antaranya merupakan subsidi untuk harga BBM, sedangkan sisanya Rp8,4 triliun merupakan angka yang muncul akibat perbedaan penghitungan biaya produksi," katanya. Oleh karena itu, katanya, pemerintah sudah waktunya untuk mengalihkan BBM untuk PT PLN kepada BBG atau batubara, sehingga TDL benar-benar terjangkau masyarakat. "Kalau tidak bisa, saya usulkan subsidi BBM dialihkan kepada subsidi listrik saja," katanya. Dalam kesempatan itu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ITS Surabaya menyerahkan pernyataan sikap kepada Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen ESDM, Dr Ir Yogo Pratomo yang menjadi pembicara kunci dalam seminar itu. Intinya, BEM ITS menolak rencana pemerintah menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL), karena masih ada alternatif untuk mengurangi penderitaan masyarakat akibat kenaikan BBM pada Oktober 2005 yakni BBG. "Kenaikan BBM lima bulan lalu sudah membuat masyarakat menderita dengan biaya hidup yang semakin tinggi, maka penderitaan mereka akan semakin berat bila TDL dinaikkan, bahkan jika hanya listrik untuk industri yang dinaikkan pun akan tetap memberi efek domino (multiplier effect) kepada masyarakat juga," kata Presiden BEM ITS Surabaya, Setyo Martono.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006