Jakarta (ANTARA News) - Kini masyarakat menanti dengan harap-harap cemas keputusan pemerintah mengenai perlu tidaknya menaikkan tarif dasar listrik (TDL) setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merampungkan audit atas biaya pokok pengadaan (BPP) listrik PLN. Hasil pemeriksaan BPK itu sudah diserahkan kepada DPR pada 9 Maret lalu, menyusul permintaan lembaga legislatif itu kepada BPK. BPK diminta mengaudit secara menyeluruh BPP listrik PLN, agar bisa diketahui secara lebih akurat besarnya selisih antara biaya penyediaan listrik dan harga jualnya. Audit BPK oleh DPR dijadikan prasyarat sebelum pemerintah memutuskan jadi tidaknya menaikkan TDL. Permintaan kenaikan TDL sebelumnya diajukan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan alasan BPP listrik yang semakin tinggi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Jika pada 2004 harga BBM untuk pembangkit rata-rata masih sekitar Rp1.450/liter, sejak awal Oktober 2005, harga BBM naik menjadi rata-rata Rp4.700/liter atau 300 persen lebih tinggi, sementara pemakaian BBM untuk pembangkit mencapai 30 persen dari total penggunaan energi primer dalam memproduksi listrik PLN. Konsekuensinya, menurut PLN, BPP listrik naik rata-rata menjadi Rp870/kilo watt hour (kWh), padahal harga jual rata-ratanya hanya Rp580/kwh. Itu berarti ada defisit sekitar Rp300/kWh yang harus ditutup. Menurut PLN, caranya bisa dengan subsidi pemerintah, atau menaikkan TDL kalau pemerintah memang tidak ingin menutupi defisit tersebut. Dalam laporan kepada DPR terkait alasan kenaikan TDL itu, PLN mengajukan besarnya BPP listrik 2006 mencapai Rp98,1 triliun untuk menghasilkan daya listrik 112,8 juta megawatt hour (MWh). Namun dari hasil audit BPK, ditemukan bahwa BPP listrik PT PLN hanya Rp93,2 triliun, atau lebih rendah Rp4,9 triliun. Menurut Ketua BPK Anwar Nasution, pengurangan Rp4,9 triliun terutama bersumber dari biaya bahan bakar Rp3,6 triliun, sedangkan Rp1,3 triliun merupakan koreksi biaya listrik swasta, penyusutan, kendaraan, administrasi dan pinjaman. Hasil audit BPK itu langsung ditanggapi oleh PLN. Direktur Keuangan PT PLN Parno Isworo mengatakan, adanya koreksi BPP oleh BPK tersebut bukan berarti tidak ada efisiensi di PLN. "Hanya karena ada perbedaan asumsi yang digunakan PLN dan BPK. Asumsi yang digunakan BPK kurang memberi ruang yang cukup bagi PLN untuk mengatasi pertumbuhan konsumsi listrik seiring dengan pertumbuhan ekonomi," katanya. Perbedaan BPP listrik antara hasil audit BPK dan PLN (Rp4,9 triliun) disebabkan perbedaan asumsi pembelian solar, volume penjualan listrik, asumsi harga gas, dan harga batu bara. PLN menggunakan asumsi harga BBM Rp6.000 per liter, atau lebih tinggi dari kemungkinan harga BBM yang ditetapkan Pertamina, yakni sekitar Rp5.500 per liter. Hasil audit BPK yang disampaikan kepada DPR, menggunakan asumsi harga BBM Rp5.000 per liter. "PLN menggunakan asumsi harga BBM lebih tinggi untuk memastikan perusahaan mampu menghadapi perubahan harga BBM," kata Parno. Untuk volume penjualan listrik tahun 2006, asumsi yang dipakai PLN sebesar 112,76 juta megawatt hour (MWh) dengan perkiraan pertumbuhan konsumsi listrik 6,26 persen. BPK menggunakan asumsi volume penjualan 111,93 juta MWh dengan perkiraan pertumbuhan konsumsi 5,47 persen. Untuk gas, PLN menggunakan harga gas alam tahun 2005 plus perkiraan kenaikan 15 persen. Angka lagi-lagi dikoreksi BPK. Lembaga itu menilai PLN tidak perlu menaikkan harga gas alam dalam BPP 2006 karena jual belinya diatur kontrak jangka panjang. Koreksi yang sama dilakukan atas harga batu bara. Acuan Pemerintah tetap menilai audit BPK merupakan perhitungan yang sah, sehingga akan dijadikan sebagai acuan dalam menghitung besaran kenaikan TDL. "Hasil audit itu akan menjadi angka dasar perhitungan tarif listrik," kata Menko Perekonomian Boediono. Adanya perbedaan perhitungan BPP menjadi Rp93,2 triliun dan asumsi pendapatan PLN tahun 2006 sebesar Rp66 triliun, maka terdapat selisih sebesar Rp27,2 triliun. Selisih itu lebih kecil dari yang disampaikan PLN, yaitu Rp34 triliun. Dengan alokasi subsidi yang sudah pasti disediakan pemerintah sebesar Rp17 triliun, masih ada kekurangan sekitar Rp10 triliun. Angka Rp10 triliun itulah yang akan diputuskan, apakah akan ditutup dengan tambahan subsidi, sehingga tarif listrik tidak naik atau pemerintah memutuskan mendapatkan kebutuhan dana itu dengan menaikkan TDL. Sejauh suara pemerintah belum seragam dalam memproyeksikan kecenderungan yang akan diambil dalam persoalan TDL yang cukup dilematis dan kompleks tersebut. Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentu saja mengutamakan dari sisi kekuatan anggaran untuk memenuhi kebutuhan dana Rp10 triliun tersebut. "Itu masih harus melihat kemampuan APBN terlebih dahulu, apakah dapat ditutup sebagian atau seluruhnya," katanya. Boediono nampaknya lebih memilih untuk tetap menaikkan TDL. Hanya saja besarannya akan mengecil dari perhitungan sebelumnya yang sebesar 15 persen, akibat adanya koreksi dari BPK. "Hasil audit itu akan menjadi dasar perhitungan di tim teknis. Insya Allah bisa lebih rendah dari perhitungan sebelumnya," katanya. Begitu pula dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan, pemerintah masih akan mengkaji kemungkinan penambahan subsidi untuk menutupi selisih kekurangan BPP listrik. Sementara Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, menilai, pemerintah tak perlu menaikkan tarif listrik. Alasannya, kemungkinan untuk menambah subsidi masih sangat terbuka, dan akan dibicarakan dengan DPR. Apalagi, hasil audit BPK menunjukkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik, bisa dihemat sebesar Rp4,9 triliun. "Belum tentu pemerintah memutuskan akan menaikkan tarif listrik," kata Paskah. Ketua DPR Agung Laksono juga berharap tidak ada kenaikan TDL. Menurutnya, masih ada sejumlah cara agar defisit anggaran bisa diatasi. Defisit Rp10 triliun bisa diupayakan dari piutang-piutang listrik berbagai perusahan besar, instansi pemerintah yang menunggak, dan lainnya. "Kalau semua dikumpulkan bisa mengurangi defisit," katanya. Mengenai kemungkinan pemerintah tetap akan ada kenaikan TDL, tetapi kurang dari 15 persen, ia mengatakan, kalau cuma kenaikan 5 persen tidak akan ada artinya, lebih baik tidak usah naik. Namun Agung menyerahkan kebijakan kenaikan TDL atas hasil pembicaraan Komisi VII DPR yang membidangi masalah kelistrikan bersama dengan pemerintah, pada hari Senin (13/3). Menurut Ketua Komisi VII DPR Agusman Effendi, pembahasan itu akan melibatkan tim teknis pengkaji rencana kenaikan TDL, yang beranggotakan wakil dari PLN, Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, akademisi, serta lembaga swadaya masyarakat. "Kalau membahas hasil audit, mau tidak mau memang harus menyinggung mengenai rencana kenaikan TDL, apakah DPR setuju atau tidak," katanya. Keputusan perlu tidaknya kenaikan TDL memang mutlak di tangan pemerintah. Semua pihak kini sangat menantikan keputusan yang akan diambil pemerintah. Masyarakat luas tentu saja berharap tidak ada kenaikan. Sementara itu, PLN menyerahkan sepenuhnya keputusan yang diambil pemerintah, sambil menekankan bahwa keputusan harus cepat diambil agar defisit bisa segera tertutupi dan kas perusahaan tidak semakin terkuras. (*)

Oleh Faisal Yunianto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006