Kuala Lumpur (ANTARA News) - Wakil Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak, menyangkal adanya pendapat bahwa ratusan juta dolar yang diperoleh pemerintahnya dari harga minyak yang tinggi akan digunakan sebagai jaminan korporat. "Ada rumor bahwa pemerintah akan menggunakan dua miliar ringgit (540 juta dolar AS) untuk menjamin MAS (Malaysia Airlines) atau perusahaan manapun yang terkait pemerintah. Ini adalah kebohongan, dan saya menyangkal hal itu," ujarnya, seperti dikutip harian Star, di Kuala Lumpur. Komentarnya muncul di tengah kemarahan luas masyarakat Malaysia menyangkut kenaikan harga bahan bakar yang telah memicu dua unjuk rasa anti-pemerintah. Pemerintah Malaysia baru-baru ini menaikkan harga bensin dan diesel dengan 30 sen per liter dalam upaya untuk mengurangi subsidi, yang kini sekitar 12,9 miliar ringgit. Padahal, Pemerintah Malaysia pernah mengatakan bahwa subsidi bahan bakar pada akhirnya akan dihentikan untuk membangun sekolah dan infrastruktur pedesaan. Tetapi, partai oposisi telah menuduh pemerintah berencana akan menggunakan uang yang diperoleh itu sebagai jaminan perusahaan milik negara yang sedang bergulat seperti Malaysia Airlines. Perdana Menteri (PM) Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, dipaksa untuk melancarkan serangkaian latar belakang informasi kebijakannya pada minggu lalu guna melawan kecemasan publik dan menjelaskan alasan kenaikan tajam minyak di dalam negeri. Sebagai upaya untuk menghentikan gerutu lebih jauh, pemerintah telah meminta perusahaan energinya untuk merevisi kenaikan tarif yang diusulkan. Menteri Energi, Air dan Komunikasi, Lim Keng Yaik, mengatakan seperti dikutip oleh kantor berita Bernama bahwa kabinet menolak kenaikan 10 persen yang diusulkan. Pihak pemegang kebijakan energi harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah, dan Lim mengatakan, kabinet telah menyarankan menaikkan tarif hanya untuk pelanggan yang menggunakan listrik di atas 200 kwh per bulan. Perusahaan tenaga listrik yang dikendalikan negara itu, yang memiliki utang melampaui 30 miliar ringgit, belum menaikkan harga listriknya selama bertahun-tahun walau ada kenaikan biaya operasional. Perusahaan itu terakhir merevisi tingkat bunganya pada 1997 ketika tarif dinaikkan dengan 8,3 persen. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006