Mungkin kita mesti bikin sayap saja kali ya, biar aman"
Jakarta (Antara News) - "Naik Transjakarta takut pelecehan seksual. Naik kereta takut dicopet. Naik angkutan umum takut diperkosa. Eh, jalan kaki pun ditabrak."

Begitulah ungkapan yang belakangan beredar pada warga Jakarta.  Kini, isu keamanan amat meneror masyarakat.

Rentetan kejadian mengerikan terjadi di tempat-tempat publik, di pagi buta, di siang hari, di kesenyapan malam, di dekat keramaian, bahkan kadang tak jauh dari pos keamanan.

Belum hilang benar ingatan massa akan pelecehan seks di bus Transjakarta dan kereta api, muncul horor terhadap perempuan di angkutan umum. Dalam waktu sebulan, dua perempuan diperkosa oleh kriminal-kriminal seks.

Jumat pekan lalu (20/1), seorang mahasiswi calon bidan diperkosa lima pria tak dikenal saat menumpang angkot C01 jurusan Ciledug-Kebayoran Baru. Hingga tulisan dibuat, belum seorang pun dari para pelaku itu ditangkap polisi.

Kegemparan dan kegeraman masyarakat belum reda, muncul kasus mengerikan di siang bolong hari Minggu lalu. Di bawah pengaruh alkohol dan narkoba, seorang gadis memacu cepat-cepat kendaraannya yang kemudian diketahui bodong.  

Sang pengemudi yang lalu diketahui bernama Afriyani Susanti, tak bisa mengendalikan kendaraannya.  13 orang ditabraknya, sembilan orang diantaranya yang kebanyakan usai berolah tubuh di kawasan Monas yang selalu sesak di setiap akhir pekan, dijemput malaikat maut.  

Belasan keluarga meratap, tak menyangka anggota keluarganya yang kesemuanya pamit untuk bergembira di Monas, mendadak meninggalkan mereka untuk selamanya.

Perampokan, lalu pemerkosaan, kemudian teror jalanan di bawah pengaruh narkoba mengancam warga.  Keamanan mendadak begitu mahal, jauh lebih mahal dari intan berlian sekalipun.

"Mungkin kita mesti bikin sayap saja kali ya, biar aman," kata Rosiati (53), berkelakar sembari menyindir betapa sudah mengerikannya kotanya ini.

Rosiati adalah pengguna setia kereta listrik (KRL).  Berita pelecehan seksual dan pencopetan di dalam kereta sering dia dengar, namun dia tak punya pilihan selain KRL. Dia hanya bisa berdoa.

"Serba salah, naik bajaj saja bisa dijambret kok," sambungnya.

Rosiati juga miris begitu banyak ruang publik diinvasi oleh ancaman maut, bahkan trotoar jalan sekali pun.

"Kalau jalan di trotoar sering diserobot motor, mereka lebih galak dari pejalan kaki, padahal trotoar kan hak kami," katanya.

Tak anggap remeh

Lain lagi dengan Sri (55), seorang ibu rumah tangga.  Ia bahkan tidak berani lagi naik angkutan umum. Ia tak mau ambil risiko.  Ojek pun menjadi pilihan terpercayanya, itu pun dengan tukang ojek yang sudah dikenalnya dengan baik.

"Saya harus lebih waspada. Tentu saja saya juga berharap pihak berwenang bisa cepat bertindak untuk menciptakan kenyamanan," katanya.

Sementara itu, Lita (40) yang berkantor di kantor pelayanan pajak, persis depan lokasi di mana "Xenia maut" merenggut sembilan nyawa, kian was-was.

Setiap hari, perempuan asal Bekasi yang juga pengguna KRL ini harus berjalan kaki dari stasiun Gondangdia ke kantornya.

"Orang sudah minggir saja masih bisa ditabrak ya," kata Lita.

Pejalan kaki, menurut Lita, sungguh tak dihargai. Ironisnya, baik polisi maupun petugas jalan raya, membiarkan pengendara motor melaju di trotoar.

Lita juga mengkhawatirkan keselamatan anak perempuannya yang masih kelas 1 SMP.  Anaknya ini adalah pengguna setia angkutan umum.

"Kita yang orang dewasa saja bisa dilecehkan, apalagi yang lebih muda," kata Lita.

Lita pun menjadi bawel mengingatkan sang anak untuk menggunakan pakaian yang sopan dan tidak menaiki angkot yang penumpangnya tak banyak.

Lita berharap pemerintah tak menganggap remeh kejadian-kejadian mengerikan belakangan ini.

"Kalau kita orang tidak mampu, mau naik apa, tidak bisa beli motor, apalagi mobil, mau tidak mau naik transpor publik. Harapannya lagi-lagi ya ke pemerintah," ucapnya.

Harus setimpal

Masyarakat juga mendesak pihak berwenang menindak tegas siapa pun peneror keamanan masyarakat, termasuk begundal-begundal pemerkosa.

Karena para korban menderita trauma hingga seumur hidup,  maka "Pelaku juga harus dihukum hingga seumur hidup," kata Masruchah, Wakil Ketua Komnas Perempuan.

Demikian pula terhadap mereka yang lalai sehingga nyawa sejumlah orang terenggut karena ulahnya.  Ancaman hukum penjara enam tahun kepada Afriyani pun dianggap tidak setimpal dengan akibat dari ulahnya

"Jika itu benar, sungguh keterlaluan, ke mana rasa keadilan di negeri ini. Pelaku harus dihukum berat," kata Rahmat Hidayat (52) yang datang dari Kebon Jeruk haya untuk melihat polisi menggelar penyelidikan di tempat kecelakaan maut di dekat Tugu Tani, Jakarta Pusat.

Afriyani sendiri dijerat pasal berlapis.  

Dia dituduh melanggar tiga pasal Undang-Undang Lalu Lintas, yakni Pasal 283 karena mengemudikan kendaraan bermotor secara tidak wajar atau terganggu konsentrasinya, Pasal 287 Ayat 5 tentang pelanggaran aturan batas kecepatan dalam berkendara, dan Pasal 310 Ayat 1 sampai 4 tentang orang atau kendaraan yang mengakibatkan kecelakaan atau kerusakan yang menimbulkan korban.

Selain itu, bersama ketiga temannya, Afriyani juga dikenai tiga pasal dalam UU Nomor 35 tahun 2009, yaitu Pasal 112 karena memiliki narkoba, pasal 132 karena menggunakan narkoba bersama-sama, dan pasal 127 karena menggunakan narkoba.

Di luar ancaman penjara karena melanggar UU Lalu Lintas terhadap Afriyani, untuk semua pasal dalam UU Nomor 35 ini ketiga tersangka diancam hukuman 4-12 tahun penjara.

Polisi berjanji akan mengurai semua simpul yang berkaitan dengan tragedi mengerikan di Tugu Tani itu, termasuk mencucuk para pengedar narkoba.

Polisi akan menyelidiki di mana keempat tersangka membeli dan mengonsumsi narkoba. "Penjualnya harus kita cari," janji Direktur Narkoba Polda Metro Jaya, Kombes Nugroho Aji.

Mari kita tunggu apakah hukum tegak seperti yang seharusnya, apakah sanksi dan hukuman setimpal dengan akibat yang ditimbulkan para pelanggar hukum.

Mari juga kita tunggu langkah-langkah pihak berwenang dalam menjawab tantangan masyarakat, 'mampukah mereka mengembalikan rasa aman masyarakat di kotanya?"

M047

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012